"Kenapa kamu hujan-hujanan?"
      Sesaat, dia menoleh ke arahku dengan tatapan lesunya. "Terima kasih sudah memayungiku," ujarnya dengan nada lelah dan kembali menatap sungai.
      Dia mau bicara! Aku bergumam seakan aku begitu senang melihatnya seperti itu.
      "Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?"
      Dia tidak menggubrisku lagi. Entah kenapa, hal itu membuatku merasa canggung dan panik. Aku ingin sekali berlari pergi, saat ia menjawabnya tanpa melihatku. "Namaku Septian."
      Aku sedikit terkejut. Rasanya dia menjawab dengan respon yang sangat lama. Apakah karena sesuatu yang sedang dilamunkannya?
      "Septian...." Septian tidak berkata apa-apa. Aku merasa khawatir apakah masalahnya seberat itu. "Eh, maaf sebelumnya. Kamu terlihat begitu sedih. Maukah kamu bercerita kepadaku?"
      Tidak seperti sebelumnya, kini ia menengok ke arahku. "Apakah kamu bisa memberikan solusi untuk masalahku?"
      "Uh...." Aku berusaha menimbang-nimbang. "Tapi aku tidak bisa janji, ya.... Soalnya aku belum tahu seperti apa masalahmu."
      "Oke. Tapi, aku belum tahu namamu. Dan aku bingung mau memanggilmu dengan sebutan apa. Sangat tidak mungkin jika ada perempuan cantik yang tak bernama mau mendengarkan ceritaku."
      "Oh, ma---maaf. Namaku Santi," jawabku dengan sedikit panik. Namun, pipiku terasa hangat saat mendengar kata "cantik" yang dia ucapkan tadi.