Mohon tunggu...
Termakan Cinta
Termakan Cinta Mohon Tunggu... Freelancer - Suka bikin cerita

Duo yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

22 C Cinta

13 Juli 2019   21:20 Diperbarui: 13 Juli 2019   21:54 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan mulai turun dengan deras dan aku sudah membuka payung untuk menutupi seluruh tubuhku agar tidak basah. Aku membuka handphone-ku sejenak, mendapati waktu sudah berada pada jam empat sore, dan suhu saat ini 22 Celcius.

            Dinginnya.... Ingin rasanya aku memeluk tubuhku sendiri karena kaos putih poodle yang kukenakan berbalut sweater pink berkancing---yang sengaja tidak kukancing---masih belum cukup melindungiku dari cuaca yang dingin ini. Tapi, kantung tas plastik yang berisi bumbu dapur dan sayuran di tangan kanan dan paying di tangan kiriku menghalangi niatku untuk melakukannya.

            Langkah kakiku pun coba sedikit kucepatkan, karena ibuku tidak akan bisa memasak tanpa bahan dapur yang kubawa ini. Setelah aku tiba di sebuah jembatan yang mengarah ke rumahku, aku mendapati sesosok wanita berambut panjang yang aneh.

            Dia menyanggah kedua tangannya di atas pagar pembatas sebelah kiri jembatan sembari menatap ke bawah. Saat aku berjalan melewatinya, dia menoleh dan menatapku dengan tajam. Dan aku terkejut memandang bulu tipis yang menghiasi dagu segitiganya.

            Dia laki-laki! jeritku dalam hati. Namun, entah kenapa bola mata hitamnya benar-benar merenggut kesadaranku, juga wajah tegasnya yang nampak muram itu membuatku bersimpati. Belum lagi, dia tidak mengenakan sesuatu yang bisa melindunginya dari hujan, seperti ia tidak memperdulikannya.

            Sesaat, aku pun sadar bahwa aku sudah berhenti berjalan karena terlalu menatapnya. Aku pun kembali melangkahkan kaki secepat yang kubisa. Tetapi, ada sesuatu yang mengganjal hatiku.

            Kenapa dia hujan-hujanan? Apakah dia tidak kedinginan? Aku tak tahu mengapa aku mudah peduli pada orang lain. Terutama melihat seorang pria tampan yang kehujanan. Aku berbalik dan berencana menghampirinya, bersamaan dengan datangnya keraguan dalam pikiranku.

            Apakah nanti aku mengganggunya? Dan dia benar-benar terlihat seperti sedang merenungi kesalahannya, nampak tidak ingin digganggu.

            Tapi, entah kenapa kedua kaki mulai mengikuti kata hatiku, hingga dalam beberapa detik aku sudah berdiri di sampingnya. Aku benar-benar gugup! Bisa jadi dia adalah penjahat kelas kakap yang akan langsung menculikku! Namun, aku langsung menutupinya dengan payungku---juga diriku.

            "Hei, kamu baik-baik saja?" tanyaku.

            Dia masih menatap ke bawah sungai, tak menghiraukan pertanyaanku.

            "Kenapa kamu hujan-hujanan?"

            Sesaat, dia menoleh ke arahku dengan tatapan lesunya. "Terima kasih sudah memayungiku," ujarnya dengan nada lelah dan kembali menatap sungai.

            Dia mau bicara! Aku bergumam seakan aku begitu senang melihatnya seperti itu.

            "Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?"

            Dia tidak menggubrisku lagi. Entah kenapa, hal itu membuatku merasa canggung dan panik. Aku ingin sekali berlari pergi, saat ia menjawabnya tanpa melihatku. "Namaku Septian."

            Aku sedikit terkejut. Rasanya dia menjawab dengan respon yang sangat lama. Apakah karena sesuatu yang sedang dilamunkannya?

            "Septian...." Septian tidak berkata apa-apa. Aku merasa khawatir apakah masalahnya seberat itu. "Eh, maaf sebelumnya. Kamu terlihat begitu sedih. Maukah kamu bercerita kepadaku?"

            Tidak seperti sebelumnya, kini ia menengok ke arahku. "Apakah kamu bisa memberikan solusi untuk masalahku?"

            "Uh...." Aku berusaha menimbang-nimbang. "Tapi aku tidak bisa janji, ya.... Soalnya aku belum tahu seperti apa masalahmu."

            "Oke. Tapi, aku belum tahu namamu. Dan aku bingung mau memanggilmu dengan sebutan apa. Sangat tidak mungkin jika ada perempuan cantik yang tak bernama mau mendengarkan ceritaku."

            "Oh, ma---maaf. Namaku Santi," jawabku dengan sedikit panik. Namun, pipiku terasa hangat saat mendengar kata "cantik" yang dia ucapkan tadi.

            "Santi...," katanya dengan nada yang terdengar menggoda. Dia mulai memandangiku dari atas kepala hingga kakiku. "Gambar di kaosmu sangat imut seperti kamu, dan sweater pink-mu semakin membuatmu nampak begitu mempesona."

            Aku bisa merasakan wajahku semakin memerah karena perkataannya yang tiba-tiba dan apa adanya membuat jantungku berdebar kencang. "Te---terima kasih," sahutku dengan setengah tersenyum.

            Sesaat, aku melihat tangannya---juga badannya---sedikit bergetar. Aku bingung kenapa baru sekarang badannya menggigil kedinginan. "Uh... bolehkah kamu mendekat sedikit? Badanku masih kena tetesan hujan, lho," katanya.

            Dengan cepat aku pun mendekatinya karena dia kali ini tidak ingin kehujanan. Kini Septian hanya berjarak beberapa senti. Aku bisa melihat lentik bulu matanya, kedua alis yang melengkung dan hamnpir tersambung, menghiasi tatapan tajam matanya. Aku juga mendapati tahi lalat kecilnya yang menempel di pipi kanannya, yang sulit dilihat jika tidak sedekat ini.

            Oh, tidak! Aku menatapnya terlalu lama! Aku langsung mengalihkan pandanganku di sebelah kananku, menyaksikan ribuan tetesan hujan jatuh dan menciptakan gelombang-gelomnbang indah di atas sungai. Aku ingin tahu tentang hidupnya, itulah yang aku rasakan saat ini.

            Tiba-tiba, aku mendengar suara endusan yang sedikit mengekejutkanku. Aku melihat ia sedang mencium sesuatu, begitu dekat dengan wajahku, hingga sejengkal jari saja bibirku bertemu dengan bibirnya....

            Septian mundur sesaat seraya tersenyum. "Aromamu wangi sekali! Parfum apa yang kamu pakai?"

            "Aku... meraciknya sendiri."

            "Wow, keren! Sepertinya kamu gadis yang serba bisa." Kali ini suaranya terdengar lebih hidup, tidak sedatar tadi. Ah..., sepertinya aku bisa membuatnya lebih bersemangat lagi!

            "Terima kasih. Tapi, aku tidak serba bisa juga," sahutku. "Kamu keren juga, kok. Kaos hitam yang kamu pakai menggambarkan kamu seperti sedang dalam kesedihan."

            "Jadi, menurut kamu aku keren kalau aku sedang tertekan?"

            "Bu---bukan! Bukan begitu maksudku!"

            Septian hanya tertawa sedikit. "Cuma bercanda, kok! Oh, ya. Plastik yang kamu bawa itu isinya apa?"

            "Oh! Ini cuma bahan masakan buat di dapur."

            "Jadi, kamu pembantu, ya?"

            "Ih!" Aku cuma membantu ibuku, kok!" sahutku sembari memukul kecil bahunya.

            Dia hanya tertawa. Tidak kusangka dia ternyata hangat, juga karismatik. Oh, ya! Aku harus pulang ke rumah sekarang! Ibuku pasti sudah menunggu bahan belanjaan yang aku bawa ini.

            "Curhatnya kita lanjut lewat telepon gimana? Soalnya ibuku sudah menunggu."

            "Tunggu sebentar! Aku baru saja menemukan solusinya."

            "Apa itu?"

            "Solusinya adalah kamu. Kamu membuatku melupakan masalahku Sebenarnya masalahku...."

            "Apa masalahmu?" tanyaku penasaran.

            "Masalahku adalah karena putus cinta. Dan setelah bertemu kamu tiba-tiba aku merasa kembali pulih. Walaupun kamu sedikit pemalu, kamu begitu ceria dan menyenangkan. Aku ingin mengenal dekat denganmu."

            Sejak saat itulah aku mengenal Septian, seorang pria yang kini menemani hariku. Kami bertukar nomor telepon, lalu kami sering berkomunikasi hingga kami berdua berkencan. Setiap kali aku melihat hujan, aku berharap notifikasi smartphone-ku menunjukkan suhu 22 Celcius. Meski begitu dingin, tetapi karena dia aku bisa merasakan kehangatan di kala guyuran hujan yang berjatuhan.

Untuk v

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun