Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pulang ke Jogja, Selain Menuntaskan Rindu dan Menyinggahi Angkringan, Apa Lagi?

7 Februari 2024   12:38 Diperbarui: 8 Februari 2024   11:23 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulang ke Jogja, Selain Menuntaskan Rindu dan Menyinggahi Angkringan, Apa Lagi? (Dok. Pribadi)

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna ...

Segudang rasa lahir saat kembali "pulang" ke Jogja. Sebagaimana rasa di dalam sepenggal bait lagu berjudul "Yogyakarta" dari Kla Project di atas. Pulang ke Jogja membawa rasa haru, rindu, dan persahabatan yang tak lekang oleh waktu.

Tiba di Jogja saat dini hari, saya bersama beberapa orang dari rombongan bukannya langsung merebahkan diri di tempat menginap. "Sayang sekali bila waktu singkat selama dua setengah malam tiga hari di Jogja tidak dipakai keluyuran," batinku. Belum tentu entah berapa purnama lagi kami memiliki kesempatan untuk kembali ke Jogja yang berhati nyaman ini.

Jl. Malioboro, Jogjakarta (Dok. Pribadi)
Jl. Malioboro, Jogjakarta (Dok. Pribadi)

Ada yang bilang, Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Sedangkan, kata seorang teman saya yang tinggal di sana, Jogja terbuat dari angkringan, kenangan, dan mantan.

Setidaknya ada dua hal yang sama dari kedua pendapat itu yang patut diulangi kembali pada perjalanan ke Jogja kali ini, yakni angkringan dan kenangan, terutama bagi yang baru pertama kali datang ke sini. Lagipula, mantan saya tidak ada di Jogja, wkwkw.

Makan Malam di Angkringan

Teteg Malioboro, demikian nama angkringan itu. Kata ibu pemilik angkringan, "teteg" dari bahasa Jawa artinya palang yang kokoh. Angkringan ini memang berada di dekat palang rel kereta api di sekitar Malioboro.

Saya bersama istri menyantap dua bungkus nasi kucing, beberapa bungkus kerupuk, jeroan ayam yang ditusuk sate, telur puyuh, telur bebek asin, tahu, dan teh manis hangat. Untuk semua itu, kami hanya ditagih bayaran sebesar Rp33.000. "Sudah makan demikian banyak, harganya cuma segitu," kata istriku. Kusenyumi saja dia, perutku sudah kenyang.

Makan Malam di Angkringan, Jogja (Dok. Pribadi)
Makan Malam di Angkringan, Jogja (Dok. Pribadi)

Nongkrong di Malioboro

Berangkat pada Senin, 8 Januari 2024 sekitar pukul 20.30 wib dari Malang, kami tiba di Jogja pada Selasa, 9 Januari 2024 sekitar pukul 02.30 wib. Perjalanan dengan bus melintasi jalan tol terasa nyaman, beberapa kali kami berhenti di rest area melepaskan hajat yang meronta di tengah perjalanan yang memakan waktu selama lebih kurang 6 jam itu.

Pukul 02.30 wib di Malioboro tidaklah sepi, masih ada mas penjual mi dok-dok dan aneka minuman ringan yang masih setia berjualan dengan gerobaknya di sekitar plank penanda jalan Malioboro yang ikonik itu. Kami duduk lesehan di atas selembar tikar yang digelar di atas aspal, sebagian memesan mi instan kuah, sebagian lagi memesan mi dok-dok, kopi tubruk dan teh manis.

Suasana dini hari di Jl. Malioboro, Jogjakarta (Dok. Pribadi)
Suasana dini hari di Jl. Malioboro, Jogjakarta (Dok. Pribadi)

Nongkrong di Malioboro kali ini terasa lebih berkesan, sehubungan dengan penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta (The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks) sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Indonesia oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO), pada Sidang ke-45 Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee) tanggal 18 September 2023 di Riyadh, Arab Saudi.

Konsep tata ruang yang kemudian dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta ini dicetuskan pertama kali pada abad ke-18 oleh Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono I atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Mangkubumi.

Sri Sultan Hamengku Buwono I mulai membangun Keraton Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 1755, dan mulai digunakan pada 7 Oktober 1756. Konsep tata ruang ini dibuat berdasarkan konsepsi Jawa yang berbentuk struktur jalan lurus membentang antara Panggung Krapyak di sebelah selatan, Kraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta di sebelah utara.

Dilansir dari laman jogjaprov.go.id, struktur jalan pada sumbu filosofi Jogja berikut beberapa kawasan di sekelilingnya penuh dengan simbol filosofis yang merupakan perwujudan falsafah Jawa tentang daur hidup manusia (Sangkan Paraning Dumadi), kehidupan harmonis antar manusia, antara manusia dan alam (Hamemayu Hayuning Bawana), hubungan antara manusia dan Sang Pencipta, antara pemimpin dan rakyatnya (Manunggaling Kawula Gusti), serta dunia mikrokosmik dan makrokosmik.

Dengan ditetapkannya Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO, Indonesia kini memiliki enam warisan budaya dunia, yakni Candi Borobudur (ditetapkan 1991), Candi Prambanan (1991), Situs Sangiran (1996), Subak Bali (2012), Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (2019), dan Sumbu Filosofi Yogyakarta (2023).

Nongkrong di Malioboro, meskipun mungkin terasa biasa bagi warga yang tinggal di Jogja, bagi saya dan istri terasa sepadan meskipun harus menempuh perjalanan beribu kilometer jauhnya dari Tanah Karo. Pada dua malam yang berbeda selama di Jogja, kami sempatkan dua kali ikut bernyanyi bersama pengamen jalanan Malioboro di antara ramainya Jogja.

Sampai-sampai pengamennya mengenal kita sebagai Andien dan Aldebaran, wkwkw, pasangan suami istri yang merupakan tokoh utama dalam sinetron Ikatan Cinta. Soundtrack-nya yang berjudul "Tanpa Batas Waktu" itu aku nyanyikan pada malam itu, meskipun dengan terbata-bata, di Malioboro.


Kami juga berjoget riang bersama orang-orang yang kebetulan duduk menonton dan orang-orang yang sekadar berlalu lalang lalu tergerak ikut bergoyang. Ketika sang biduan membawakan tembang berjudul "Di Sayidan" dengan lirik lagu yang bercerita tentang kehidupan "di gang gelap di balik ramainya Jogja" itu.


Berkunjung ke Candi Hati Kudus Tuhan Yesus

Candi Hati Kudus Tuhan Yesus berada di Gereja Katolik Ganjuran, Jogjakarta. Bisa jadi ini adalah candi Yesus satu-satunya di dunia. Suasana inkulturatif yang memadukan nilai-nilai religious dengan kebudayaan Jawa terasa memenuhi setiap pojok tempat yang ada di lingkungan gereja ini.

Candi Hati Kudus Tuhan Yesus di Gereja Katolik Ganjuran, Jogja (Dok. Pribadi)
Candi Hati Kudus Tuhan Yesus di Gereja Katolik Ganjuran, Jogja (Dok. Pribadi)

Gereja Ganjuran, Jogjakarta (Dok. Pribadi)
Gereja Ganjuran, Jogjakarta (Dok. Pribadi)

Berbelanja dan Minum Jamu

Belum lengkap rasanya bila jalan-jalan tidak berbelanja, meskipun sekadar tanda mata sederhana sekaligus bukti ke tetangga kalau kita pernah ke sana, hehe. Konon katanya, pasar Beringharjo ini telah digunakan sebagai tempat jual beli sejak tahun 1758.

Pasar Beringharjo, Jogjakarta (Dok. Pribadi)
Pasar Beringharjo, Jogjakarta (Dok. Pribadi)

Berbelanja di pasar Beringharjo, Jogjakarta (Dok. Pribadi)
Berbelanja di pasar Beringharjo, Jogjakarta (Dok. Pribadi)

Setelah letih berbelanja, kami menyempatkan meminum jamu tolak angin khas Jogja di Hamzah Batik yang juga berlokasi di Jl. Malioboro.  Minum jamu di Jogja pada hari itu terasa lebih istimewa.

Jamu telah ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Indonesia pada sidang ke-18 Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO yang berlangsung pada tanggal 9 Desember 2023, di Kasane, Botswana.

Minum jamu di Hamzah Batik, Jogjakarta (Dok. Pribadi)
Minum jamu di Hamzah Batik, Jogjakarta (Dok. Pribadi)

Bertemu dengan Kompasianer Idola yang Tinggal di Jogjakarta

Terakhir, tapi tidak kurang penting dan berkesan, pada perjalanan kali ini saya bisa bertemu langsung dengan kompasianer idola, Romo Bobby Timmerman. Penulis kompasiana dengan nama akun Ruang Berbagi ini bisa dibilang adalah salah satu sosok yang menjadi mentor dan motivator yang membekali saya untuk ikut terlibat dalam kerja-kerja literasi, walaupun masih dalam wujud yang sangat sederhana.

Sebagai kompasianer yang juga adalah seorang dosen, pegiat literasi yang budiman, baik hati dan suka berbagi, Romo Bobby menghadiahi saya tiga judul bukunya untuk dibawa pulang ke Kabanjahe, Tanah Karo. Berkah dalem, Romo. Terima kasih, mejuah-juah.

Bersama Romo Bobby di GBKP Jogjakarta (Dok. Pribadi)
Bersama Romo Bobby di GBKP Jogjakarta (Dok. Pribadi)

Hadiah buku-buku karya pribadi Romo Bobby (Dok. Pribadi)
Hadiah buku-buku karya pribadi Romo Bobby (Dok. Pribadi)

Ini hanyalah segelintir hal menarik dari berbagai hal menarik lainnya yang tidak bakalan habis untuk dinikmati hanya selama dua setengah malam tiga hari di Jogjakarta. Kenangan ini barangkali memang akan membawa kami untuk kembali ke Jogja suatu saat nanti.

Sama seperti harapan Sri Sultan terkait penetapan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai warisan dunia, bahwa segala pengalaman yang menghadirkan kenangan terkait Jogjakarta dapat dijadikan oleh siapa saja sebagai media pembelajaran bersama akan nilai-nilai universal, nilai-nilai luhur yang dapat menjadi inspirasi dan referensi untuk mewujudkan dunia yang lebih baik, melalui upaya bersama dalam pelestarian warisan budaya dan cagar budaya yang ada di berbagai tempat di Indonesia.

Sebab, telah terbukti di Jogjakarta, saat beragam tradisi dan praktik kebudayaan, baik dalam pemerintahan, hukum adat, seni, sastra, festival, dan ritual, masih tetap hidup dan dilakukan menjadikan suasana Jogja tetap dirindukan sampai sekarang, bukan saja sebagai daerah tujuan pariwisata berkelanjutan, tapi bahkan sebagai rumah bersama beragam pengalaman dan kenangan.

Baiklah saya mengutipkan syair lagu "Tanpa Batas Waktu" dari Ade Govinda dengan Fadly Padi ini sebagai penutup tanda ikatan cinta dengan nyamannya Jogja.


Aku masih ada di sini
Masih dengan perasaanku yang dahulu
Tak berubah dan tak pernah berbeda
Aku masih yakin nanti milikmu

Aku masih di tempat ini
Masih dengan setia menunggu kabarmu
Masih ingin mendengar suaramu
Cinta membuatku kuat begini

Aku merindu
Ku yakin kau tau
Tanpa batas waktu
Ku terpaku

Aku meminta
Walau tanpa kata
Cinta berupaya
Engkau jauh di mata
Tapi dekat di doa
Aku merindukanmu

Aku masih di dunia ini
Melihatmu dari jauh bersama dia
Walau pasti ku terbakar cemburu
Tapi janganlah kau kemana-mana

Aku merindu
Ku yakin kau tau
Tanpa batas waktu
Ku terpaku

Aku meminta
Walau tanpa kata
Cinta berupaya
Ooo

Aku merindu
Ku yakin kau tau
Tanpa batas waktu
Aku terpaku

Aku meminta
Walau tanpa kata
Cinta berupaya
Engkau jauh di mata
Tapi dekat di doa
Aku merindukanmu

Aku merindukanmu

Aku merindukanmu

Rujukan: 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun