Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Lebih Dekat Nagori Cingkes dan Kisah Asal-Usul Marga Tarigan

24 Oktober 2023   12:40 Diperbarui: 25 Oktober 2023   01:01 1589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Geriten Tarigan Gerneng, salah satu bangunan tradisional Karo yang masih berdiri di Nagori Cingkes, Simalungun (Dok. Pribadi)

Kerajaan Nagur di sekitar Cingkes yang sekarang, rajanya dari marga Tarigan. Setelah hancur pada pertengahan abad ke-13, kampungnya dipindahkan oleh marga Tarigan dan diberi nama Cingkes. Kuta Nagur Tarigan itu sekarang dinamakan Kerangen Nagur.

Foto salah satu rumah adat Karo yang pernah berdiri di Nagori Cingkes, koleksi Museum Pusaka Karo, Berastagi (Foto Dok. Pribadi)
Foto salah satu rumah adat Karo yang pernah berdiri di Nagori Cingkes, koleksi Museum Pusaka Karo, Berastagi (Foto Dok. Pribadi)

Mengutip penjelasan pada buku "Sejarah Karo dari Zaman ke Zaman Jilid I" yang ditulis oleh Brahma Putro (1995), bahwa ras Proto Melayu yang menjadi suku bangsa Haru sudah sejak ribuan tahun silam mendiami pegunungan Bukit Barisan. Suku bangsa Haru yang berasal dari ras Melayu Tua inilah yang menjadi nenek moyang asli orang Karo.

Artefak-artefak "gua umang" yang benyak terdapat di daerah Karo dan Pakpak sebagai tempat kediaman ras Proto Melayu, menjadi bukti  bahwa masyarakat Haru yang menjadi nenek moyang suku Karo, Pakpak, Simalungun, Gayo, Singkel, Keluat bukan berasal dari keturunan seorang kepala keluarga di Sumatera, tetapi berasal dari beberapa kepala keluarga pada zaman Melayu Tua itu.

Arti kata "Tarigan" tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Karo. Namun, ada catatan tersendiri mengenai asal usul marga Tarigan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Catatan itu bukan dalam bentuk tulisan di atas kertas atau di kulit kayu, tapi diwariskan dari mulut ke mulut, baik di Simalungun, Pakpak, Alas, Gayo, maupun di Karo.

Pada zaman pra sejarah nenek moyang Tarigan hidup di gua batu dekat kampung Tungtung Batu, Pakpak, Kabupatan Dairi (pada masa buku ini ditulis). Pada suatu ketika terjadi perkelahian antara nenek moyang si Tarigan ini dengan penduduk yang bermukim tidak jauh dari gua tempat tinggalnya itu.


Nenek moyang marga Tarigan ini melarikan diri ke sebuah gua batu. Pada pintu gua batu itu tumbuh pepohonan yang menutupi pintu gua.

Setelah nenek moyang si Tarigan itu bersembunyi di dalam gua, bertenggerlah seekor burung balam di pohon pada mulut gua, kemudian berkukuk dengan merdu, berulang-ulang.

Ketika musuh yang mengejar nenek moyang si Tarigan itu tiba di depan pintu gua, mereka mendengar suara kukuk burung balam yang merdu dan berulang-ulang itu. Mereka beranggapan bahwa tidak mungkin nenek moyang si Tarigan itu masuk ke dalam gua, karena di pintu gua hinggap seekor burung balam yang berkukuk merdu.

Geriten Tarigan Gerneng, salah satu bangunan tradisional Karo yang masih berdiri di Nagori Cingkes, Simalungun (Dok. Pribadi)
Geriten Tarigan Gerneng, salah satu bangunan tradisional Karo yang masih berdiri di Nagori Cingkes, Simalungun (Dok. Pribadi)

Bila ada manusia di dalam gua tentu burung balam itu tidak akan mau hinggap dan berkukuk dengan tenang di sana, pikir mereka. Mereka pun meninggalkan pintu gua dan melanjutkan pengejarannya. Selamatlah nenek moyang si Tarigan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun