Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sambal Kacang Darurat, Mendaratkan Kenangan ke Atas Meja Makan

12 April 2020   23:17 Diperbarui: 12 April 2020   23:25 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sambal Kacang Darurat (Dokumentasi Pribadi)

Pernahkah kalian merasakan terkadang untuk bisa makan enak, nggak ngelihat mahalnya harga bahan, atau mewahnya tempat makan? Kita bisa merasa enak makan dengan menu yang seadanya atau tempat makan yang sederhana. Mengapa? Kita akan coba periksa alasannya.

Ternyata, selain karena bahan-bahan untuk memasak memang pilihan dan karenanya harganya mahal, atau suasana tempat makannya yang asyik, menyenangkan dan penuh kehangatan (bisa saja di rumah atau di rumah makan), memasak dengan sepenuh hati juga ternyata bisa bikin semua masakan jadi enak. Kalau tidak percaya bisa dicoba.

Tidak semua orang mendapatkan kemewahan dalam hal kemampuan membeli bahan-bahan berkualitas tinggi untuk bisa memasak makanan enak, atau makan di tempat makan yang mahal untuk bisa enak makan. Apalagi di masa prihatin seperti saat ini.

Namun, itu bukan alasan untuk bermuram durja setiap saat. Sesekali siapa yang tidak.

Ada baiknya, ubah pola pikir mengejar sekuat tenaga sesuatu yang belum pasti. Jangan paksa masa depan untuk hadir hari ini. Emang masa lalu bisa? Bisa, karena kita punya pengalaman dengan masa lalu.

Memasak sepenuh hati, bahan apa pun itu, ternyata bisa menghasilkan makanan enak. Kalau bukan karena rasanya mungkin karena perasaan saat menikmatinya, yang membuat makanan menjadi enak.

Tulisan ini adalah sebuah pengalaman memasak sendiri untuk makan malam keluarga, saat kami di rumah saja karena pandemi ini. Bukan karena bahan-bahannya pasti, tapi karena kisah di balik masakan ini. Kurasa ya, hehe.

Ini adalah sambal darurat tapi enak. Begitulah menurut ibu saya. Tapi bukan dia yang mengajari saya membuatnya.

Aku sebut saja namanya "Sambal Kacang Darurat". Ya, sambal darurat adalah nama yang cocok dan mungkin tidak menyakiti perasaan sebagian saudara kita yang mungkin untuk makan saja susah, bila berbicara tentang makanan di saat masa siaga darurat, tanggap darurat, atau masa pembatasan sosial berskala besar, di berbagai daerah yang berbeda sesuai dengan derajat kedaruratann pandemi Covid-19 ini.

Sambal Kacang Darurat adalah jenis sambal yang aku pelajari dari nini Tigan, sebutan untuk nenek buyutku (neneknya ibuku) di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe, Tanah Karo, sekitar 30-an tahun yang silam. Itu berarti sekitar tahun 1989 atau 1990.

Baca juga : https://www.kompasiana.com/teotarigan/5c4ff306ab12ae279f6c3a97/sehari-di-desa-serdang-bersama-sungai-dan-si-galia

Jadi sambal ini, bahannya cabe merah sepuluh biji (bisa juga cabe hijau atau cabe rawit, tapi kesan kenangannya tidak akan sama, hehe), kacang goreng segenggam (dari kacang tanah yang digoreng, bisa juga pakai kacang telur dalam kemasan yang ada di supermarket, tapi kurang dapat kesan daruratnya), dan sejumput garam (secukupnya). Bahan-bahan ini diulek manual di ulekan.

Sambal Kacang Darurat di ulekan (Dokumentasi Pribadi)
Sambal Kacang Darurat di ulekan (Dokumentasi Pribadi)
Tidak perlu menguleknya sampai halus benar. Karena tekstur biji-biji kacang goreng yang pecah kecil-kecil itu berpadu dengan kulit serta biji cabai yang masih kasar memberi kesan segar dan enak saat menikmati sambal ini dengan mencubitnya kecil-kecil. Kalau sambal itu sangat halus tentu agak susah mencubitnya. Atau sayang mencubitnya, bukankah yang halus lebih sayang untuk dicubit dari pada yang kasar.

Dulu, saat aku masih berumur 6-7 tahun, 30 tahun yang lalu, kacang yang sudah siap saji dalam kemasannya yang sangat sederhana itu aku beli di warung seharga Rp. 25 atau Rp. 50 per bungkusnya. Nini Tigan cukup memberi uang Rp. 100, aku bisa dapat empat bungkus. Itu bisa jadi bahan sambal untuk lauk kami makan sampai tiga kali makan.

Dulu, saat Nini Tigan masih hidup. Kami biasa makan siang dengan sambal ini, berdua. Dia rebus juga sayuran hijau dari ladangnya teman makan dengan sambal yang jadi lauk makan kami ini.

Jadi, bila kita coba telusuri dan periksa periksa apa yang menjadi alasan sehingga kita bisa merasa enak makan dengan menu yang seadanya atau tempat makan yang sederhana, biasanya akan berhubungan dengan kenangan, dan kenangan datangnya dari masa lalu. Mungkin hal ini tidak akan berlaku bagi jenis manusia yang pengetahuannya mendahului pengalaman, tapi terserahlah.

Dalam situasi yang darurat atau prihatin seperti saat ini, di mana jangankan masa depan yang diselimuti oleh ketidakpastian, untuk melewati hari ini saja pun rasanya penuh dengan bermacam kecemasan. Makanya, mungkin akan jauh lebih mudah dan lebih murah untuk menghadirkan kembali kenangan ke atas meja makan, untuk menyiasati keadaan.

Koleksi memori atas berbagai kenangan masa lalu yang menyenangkan, adalah jenis memori yang ingin kita simpan selalu. Di samping itu, memang ada juga trauma bahkan histeria yang kita simpan rapat-rapat di bawah tekanan alam bawah sadar dari kenangan-kenangan masa lalu yang buruk bahkan memalukan atau menakutkan. Sesekali ia, kenangan buruk, memalukan atau menakutkan itu, ingin keluar juga dari pikiran kita. Tapi siapa yang tidak punya masa lalu yang buruk?

Kenangan masa lalu yang menyenangkan, itulah sebenarnya yang membuat rasa makanan dan tempat makan menjadi enak. Kalau makanan yang memang dasarnya sudah enak ya pastilah enak.

"Sambal Kacang Darurat" ini, dilihat dari bahan- bahannya, bisa dibilang adalah sambal yang cocok di masa prihatin. Bandingkan dengan enaknya sambal pecal dengan bahan-bahan yang lebih lengkap.

Peniel, Jack, dan Revano anak saya, berkata kalau rasa sambal ini paling enak dari berbagai jenis sambal lain yang pernah saya masak. Jack tetap menjilati ujung jarinya, bahkan setelah usai makan. Sambil mendesis "shhh,sshhh,shhh" kepedasan, ia bilang rasanya enak.

Kami menikmati sambal kacang darurat ini, sambil aku bercerita tentang sejarah di balik sambal ini. Barangkali karena ceritanya, membangkitkan imajinasinya "Betapa enaknya bapakku makan bersama nenek buyutnya di masa kecilnya itu" begitulah pikirnya batinku.

Pada masa kecil yang telah silam itu, Nini Tigan mungkin sudah berumur 80 tahun. Tapi dia masih suka bercocok tanam ke ladang.

Kami pernah sama-sama memetik biji kopinya yang tinggal beberapa batang di ladangnya. Kelihatan bahwa batang kopi itu pun berasal dari tahun-tahun yang sudah cukup lama. Batangnya sudah miring-miring dan tidak terlalu segar, sama seperti kulit Nini Tigan yang sudah keriput.

Aku ingat, kami membawa hanya 1 mug biji kopi segar saat kembali pulang ke rumah. Aku merasa itu sudah cukup banyak pada masa itu. Bagi Nini Tiganku dengan tubuh bungkuknya itu sudah cukup banyak pada waktu itu.

Setelah kami giling biji kopi itu, tentu saja secara manual dengan menumbuknya di lesung dan mencucinya bersih, biji-biji kopi yang telah terkelupas dan agak berlendir itu dikeringkan. Seluruhnya muat dijemur di atas selembar karung plastik bekas pupuk urea.

Kalau sekarang aku bayangkan, cukup kecil goni itu. Dulu mungkin karena aku masih kecil dan Nini Tigan cukup bungkuk, goninya kelihatan sudah cukup besar. Tapi itu pun cukup untuk membeli kacang goreng ke kedai untuk bahan membuat sambal yang "enak" itu.

Begitulah, cerita sambal kacang darurat seharga Rp. 25 di tahun 89-90 itu.

Semoga situasi darurat ini segera bisa berlalu. Agar kita bisa merasakan makan enak yang bukan darurat.

Tapi benar, sebagian makanan memang jadi enak karena kenangan di baliknya. Mungkin karena kisah itu juga aku sangat menikmati kopi. Salam hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun