Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Satu Jam bersama Bang Tampu, "New Harapan" di Antara Dua Rumah Doa

15 Juni 2019   00:18 Diperbarui: 16 Juni 2019   01:04 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Butbutbutbutbut.... Tiba-tiba asap hitam pekat menyembur dari cerobong knalpot mesin kompresor bermerek Yan Mar itu, setelah diengkol oleh bang Tampu. Pessssssssst..... Bunyi angin menyeruak menggembungkan ban dalam bocor roda mobil yang baru saja ditambal itu.

Dari tadi pagi aku merasakan roda setir mobil tidak stabil, selalu mengarah condong ke kanan. Namun, karena pagi-pagi adalah waktu yang sangat sibuk untuk berlomba di jalanan, aku urung mengecek apa penyebabnya, paling-paling bannya kurang angin, pikirku.

Pagi hari adalah waktu untuk bersaing sengit bagi sesama pengendara di jalan raya, walau sebenarnya nyaris setiap waktu seperti itu, bersaing dengan sesama orang tua yang mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, orang-orang yang terburu-buru membawa barang-barang untuk berdagang maupun mereka yang terburu-buru berbelanja ke pasar, orang-orang kantoran yang berangkat kerja, ditambah pemandangan beberapa orang yang sekadar berjalan kaki kembali pulang dari berolahraga pagi, dan sebagainya.

Semua pemandangan itu membuat pagi hari terlihat cukup sibuk di ibu kota kecamatan yang luasnya 44,65 km persegi dan berpenduduk sekitar 72.246 jiwa, itulah Kabanjahe. (Sumber: Karo dalam Angka, BPS Kabupaten Karo, 2016)

Tapi pembahasan kali ini bukanlah soal kesibukan Kabanjahe di pagi hari. Ini adalah soal ban mobil yang bocor.

Sore itu, pukul 17:30 wib, aku keluar dari kantor, hendak pulang ke rumah. Benar saja, memang roda kanan mobil agak kempis.

Segera kuhidupkan mesin mobil, mumpung belum terlalu malam, mungkin masih ada tukang tambal ban yang dekat di sekitar yang masih buka, pikirku.

Usaha tambal ban itu ada di arah sebaliknya, tidak jauh dari rambu yang membolehkan pengendara untuk memutar balik ke jalan yang menuju arah sebaliknya. Tidak ada plank yang menunjukkan merek usahanya.

Seperti biasa, usaha tambal ban hanya berhiaskan ban bekas (ada yang menggunakan ban bekas ukuran besar, tapi ada juga yang hanya ban kecil) bertuliskan "Tempel Ban," dari bahan cat minyak berwarna putih. Mungkin karena ban berwarna hitam, jadi lebih kontras bila tulisannya berwarna putih.

Bahkan sering juga tulisan di ban sebagai pengganti plank merek itu ditambahkan menjadi "Tukang Tempel Ban, Tubeless." Artinya, si tukang tambal ban melayani penambalan ban untuk roda mobil yang tanpa ban dalam.

"Apa bang?" tanya tukang tambal ban itu.
"Mau nambal ban bang, bocor," kataku.
"Yang mana, bang?"
"Itu, yang kanan depan."

Dengan cekatan bang Tampubolon, mendorong dongkrak buaya ke kolong mobil. Cekrek... cekrek... cekrek, dia mulai menaikkan badan mobil untuk memudahkannya melepas roda mobil.

Setelah ban itu lepas, ia membuka katup saluran pemompa angin dari kompresor yang cukup besar di dalam gubuknya. Ya, usaha tambal ban itu hanya sebuah gubuk di pinggir jalan raya, jalan Jamin Ginting Kabanjahe.

Pessssssssst..... Angin mulai mendorong tepian bagian luar roda yang digeser-geser oleh bang Tampu secara melingkar, setiap kali ia membuka katup saluran angin itu. Pessssssssst..... Pessssssssst..... Pessssssssst.....begitu berulang-ulang, mungkin sampai lima kali, hingga bagian luar roda itu benar-benar terlepas dari velg mobil.

Dengan cekatan meskipun santai, bang Tampu mengeluarkan ban dalam mobil setelah lebih dahulu mengeluarkan sisa-sisa angin ban dalam roda kempis yang sudah terkelupas dari velg-nya itu.

Ia kembali membuka katup saluran angin dan menggelembungkan kembali ban dalam yang kempis itu. Maksudnya untuk mengecek dimana lubang yang menyebabkan ban dalam menjadi bocor. Itupun ia masih teliti dengan membenamkannya ke dalam air pada tong yang dimodifikasi hingga berfungsi layaknya bak penampungan air. Kalau masih ada lobang yang lain pada ban dalam, maka akan tampak gelembung-gelembung udara meskipun dalam air keruh pada tong itu.

Memastikan bahwa lobang yang mungkin disebabkan oleh paku yang menancap pada roda luar itu hanya satu, maka bang Tampu mulai menghidupkan api kompor pemanasnya.

Di atas landasan besi yang dipanaskan itulah ban dalam yang bocor itu akan direkatkan dengan semacam karet khusus untuk tambalan ban bocor.

Bang Tampu tidak tinggal diam menunggu ban dalam pada titik yang bocor itu, kini telah dihimpit dengan ketat di antara semacam bantalan kayu berlapis karet dengan lempeng besi yang telah dipanaskan. Ia kembali memeriksa ban luar roda mobil, kalau-kalau masih ada sisa-sisa paku yang menancap.

Setelah sekitar 15 menit dipanasi menurut perhitunganku, bang Tampu mulai membuka bantalan kayu berlapis karet yang dipakai menghimpit ban bocor dalam psoses penambalan itu.

Ia mengecek sekilas, lalu mulai mengidupkan mesin kompresornya. Butbutbutbutbut.... Tiba-tiba asap hitam pekat menyembur dari cerobong knalpot mesin kompresor bermerek Yan Mar itu, setelah diengkol oleh bang Tampu. Pessssssssst..... Bunyi angin menyeruak menggembungkan ban dalam bocor roda mobil yang baru saja ditambal itu.

dok.pri
dok.pri
Tukang tambal ban itu dipanggil Tampubolon, saya sendiri memanggilnya bang Tampu. Ia telah bekerja sebagai tukang tambal ban di gubuknya yang berada di pinggiran jalan itu sejak 10 tahun yang lalu menurut pengakuannya, yakni sekitar tahun 2009.

Ia mengerjakan hampir semua hal dalam usaha penambalan ban bocor itu dengan manual. Hanya untuk memompakan angin ia menggunakan mesin. Itulah kompresor bermerek Yan Mar, dengan tambahan tag line "bermutu dan berdaya tinggi" di bawah mereknya yang telah buram tertutup oli kotor itu.

"Mesin itu berkekuatan 6 PK," katanya.
"Apa itu maksudnya?" Ia senyum saja.

Menurut pengakuannya, dalam 5 tahun terakhir, penghasilannya dari usaha menambal ban cenderung mengalami penurunan.

Padahal setidaknya dalam rentang selama lima tahun, sejak tahun 2011 hingga 2015, jumlah kendaraan bermotor di Kabanjahe mengalami peningkatan dari 26.784 unit pada tahun 2011 menjadi 28.467 unit pada 2015, atau meningkat sebanyak 1.683 unit selama 5 tahun. (Sumber: RPJMD Kab. Karo Tahun 2016-2021)

Mengapa hal itu bisa terjadi, katanya karena ia kekurangan modal. Ia kalah bersaing dengan "tukang tambal ban" bermodal besar yang sesungguhnya sudah lebih terkesan sebagai "toko ban" atau "penjual ban" ketimbang tukang tambal ban.

Bagi mereka ini, sedikit-sedikit pasti akan menawarkan seperti ini: "Wah, sudah tidak bisa ditambal ini pak. Bagaimana, kita ganti baru saja ya?"

Atau dalam kesempatan yang lain, katanya: "Aduh, ban luarnya ini sudah botak, Pak. Kita ganti saja dengan yang baru ya?"

Tapi, mengapa tidak? Bukankah menjual ban jauh lebih mudah dari pada menambalnya? Ya, kalau ada uang apa pun mungkin mudah. berbeda dengan menambal ban.

Setelah selesai, masih ditambah dengan menambahkan angin ke tiga roda lainnya yang tidak bocor, setelah saya tanyakan berapa upahnya, kata bang Tampu "Dua puluh ribu saja mari bang."

Sebuah harga yang sangat kompetitif, bila dibandingkan dengan prosesnya yang cukup ribet dan membutuhkan waktu, dibandingkan dengan menggantikannya dengan ban dalam atau ban luar yang baru.

Bang Tampu yang baik hati dan pemurah bisa dikalahkan oleh penjual ban yang sudah kaya dan mungkin akan segera bertambah kaya seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor, yang seluruhnya hingga saat ini masih menggunakan roda yang bisa bocor, baik ada atau tidak ban dalamnya. Baik yang non-tubeless atau tubeless.

"Setahu saya, di kota ini, tukang tambal ban yang kerjanya manual seperti saya tinggal dua orang, saya dan ada satu orang lagi bermarga Harefa. Dia ada di simpang Sumbul," katanya.

Demikianlah bang Tampubolon, membuka gubuk tempel ban di pinggir jalan, dekat dengan bengkel mobil dengan merek "New Harapan."

Tidak jauh dari gubuk tempel ban-nya, di seberang sana, ada gereja di kiri dan masjid di kanannya. Memang tidak setiap hari usaha tempel ban ini buka, hanya dari Senin sampai dengan Sabtu. Ia buka hingga pukul 18 atau 19 malam, dan tutup pada hari Minggu.

Tapi dilihat dari posisi lokasinya, barangkali Bang Tampu ini sudah sangat akrab mendengar lantunan kidung pujian dan ayat-ayat, baik dari gereja maupun dari masjid.

Barangkali itulah yang meneguhkan harapannya, sehingga tetap bertahan di tengah himpitan perkembangan zaman? Bertahan dengan menambal ban dan berjualan angin, dengan kompresor bermerek Yan Mar dan tentu saja kedua tangannya.

Barangkali ada juga walau sedikit saja, pengaruh dorongan dari kidung pujian dan ayat-ayat dari kedua rumah doa di seberangnya? Dari sana semualah ia mengelola harapannya, harapan rumah tangganya.

"Andai saja aku punya modal, mungkin aku bisa berusaha di tempat yang lebih aman, jadi aku bisa sekalian jualan ban, bang," katanya. "Kalau gubuk begitu saya takut menyimpan ban-ban di sana, bisa hilang," tambahnya.

Mungkinkah bila saat harapannya tiba, masih akan ada bang Tampu-bang Tampu lainnya yang tidak hanya sekadar menjual ban, tapi juga bersedia menambalnya? Menambal itu jauh lebih murah, kendati kelihatannya jauh lebih sulit dari mengganti ban baru.

Terkadang kita membeli atau membayar sesuatu bukan saja karena kita suka itu, atau karena sesuatu yang kita beli atau kita bayar itu berasal dari sesuatu yang sifatnya selalu lebih baik dari semua yang ada, dan karenanya adalah yang paling layak menjadi pilihan.

Tapi kita juga perlu membeli dan membayar sesuatu agar ia yang menjual atau memberikan jasanya bisa melanjutkan kehidupannya, sekalipun mungkin bukan yang terbaik. Demikian bang Tampu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun