Ketika pesawat mendarat di bandara, awak kabin memberikan pengumuman melalui pengeras suara agar seluruh penumpang tetap duduk dan mengenakan sabuk pengaman hingga pesawat berhenti sempurna dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dimatikan.Â
Faktanya, sebagian besar penumpang rasanya tetap membuka sabuk pengaman meskipun pesawat belum berhenti sempurna dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dimatikan, terdengar dari bunyi "klik" sabuk pengaman yang dibuka.
Apalagi ketika pesawat telah berhenti sempurna, tidak menunggu lama, sebagian besar penumpang, hampir seluruhnya, seakan tidak sabaran segera berdiri dan bersiap membuka bagasi kabin yang ada di atas kepalanya. Padahal, mungkin setidaknya membutuhkan waktu hingga lebih kurang 7-10 menit bagi para penumpang di kabin kelas ekonomi untuk mulai bisa keluar dari pesawat meskipun ia telah berhasil mengambil barang bawaan dari bagasi kabin, yang untuk mengambilnya kadang-kadang nyaris menghantam kepala penumpang lain, atau setidaknya menimbulkan permintaan maaf di sana sini, karena orang-orang yang saling bersenggolan. Ini belum termasuk permintaan maaf, permisi dan tatapan mata bernada sinis antar penumpang meskipun sekilas karena ada, atau bahkan banyak, yang tidak sabar mengantri keluar sesuai urutan tempat duduknya. Padahal, semua toh akan keluar pada akhirnya. Kita semua tergesa-gesa.
Asyik melamun melihat kenyataan, seorang penumpang wanita yang duduk di sebelah saya berkata: "Itulah ya bang, semua terburu-buru, seolah semua sedang mengejar sesuatu yang sangat penting, padahal kenyataannya setelah sampai di terminal kedatangan semuanya paling berlomba ke toilet" katanya sambil tersenyum, manis sekali. Lamunan pun menjadi sedikit terhalau demi mendengar dan merenungkan pernyataan yang satu ini. Karena kenyataannya memang ada benarnya kata penumpang yang satu ini.
Itu hanyalah sedikit ilustrasi non fiksi, dari sekian banyak fakta lain yang terjadi sehari-hari di sekeliling kita, yang menunjukkan bahwa kita memang benar-benar tergesa-gesa hampir dalam hal apa saja. Mungkin kenyataan ini tidak terjadi dan persis sama di seluruh tempat atau kota di negeri ini. Katakanlah di jalan raya, sudah biasa kita menemukan kemacetan lalu lintas yang tidak saja diakibatkan oleh kepadatan volume kendaraan, tapi lebih karena perilaku pengendara yang tidak sabaran, saling mendahului, menyerobot jalan, berhenti dan parkir seenaknya, mengemudi ugal-ugalan, dan sebagainya. Pada bagian lain, bahkan untuk mengantri mengambil makanan pun bisa berubah menjadi tragedi. Karena jamuan makan biasanya ditempatkan di ujung acara, maka sebelum acara makan itu pastilah sebagian besar hadirin sudah saling bertegur sapa, mengobrol atau bahkan saling menceramahi, tapi begitu mengantri untuk makan keramahan pun menjadi hilang, terkadang kemarahan terjadi mana kala piring kurang, lauk atau nasi habis dan belum ditambahkan. Bahkan acara bersalam-salaman sepulang ibadah di rumah ibadah pun terkadang berlangsung secara berdesak-desakan.
"Kesadaran" yang aneh ini menjadi signifikan manakala ia mewujud menjadi sebuah "kesadaran" dan tindakan kolektif, sehingga mereka yang berbeda, yakni mereka yang tidak memiliki "kesadaran" yang aneh ini lah yang sebaliknya akan terlihat aneh karena berbeda. Apa yang aneh dan apa yang tidak mungkin bermakna relatif bagi setiap orang. Namun, secara umum mungkin dapat dijelaskan dengan analogi tentang waktu siang dan malam, waktu di mana orang-orang pada umumnya bekerja dan beristirahat. Bahwasanya ada juga orang yang beristirahat pada siang hari dan bekerja pada malam hari adalah sebuah pengecualian, dan pengecualian biasanya berlangsung dalam intensitas dan kuantitas yang minimum, karena keanehan, pengecualian, keunikan berarti sesuatu di luar kelaziman.
Sesuatu yang mayoritas dan kebanyakan bukanlah sebuah hal yang aneh dan unik. Maka menjadi pertanyaan besar, manakala hal-hal yang sewajarnya aneh dan tidak lazim menjadi sebuah "kesadaran" dan tindakan kolektif sehingga menjadi "kelaziman." Kita menjadi lumrah tidak sabaran, saling mendahului, menyerobot jalan, berhenti dan parkir seenaknya, mengemudi ugal-ugalan di jalan raya, menjadi lazim tidak sabar mengantri mengambil makanan, atau menjadi biasa saling menyerobot dalam bersalam-salaman.
Ketergesa-gesaan berarti berhubungan dengan waktu, yang secara kejiwaan menunjukkan adanya suatu hal yang penting sehingga mendesak untuk dituntaskan. Sehubungan dengan waktu, orang biasanya tergesa-gesa karena ketersediaan waktu sebagai salah satu sumber daya yang terbatas perlu dipergunakan sebaik mungkin demi tercapainya tujuan. Dengan kata lain, bukankah orang yang terbiasa dengan ketergesa-gesaan bisa dibilang orang yang akan sangat merugi bila kehilangan walau sedikit saja dari waktu yang tersedia tapi terbatas. Orang yang seperti itu seharusnya adalah orang-orang yang sangat produktif. Namun, faktanya cukup ironis. Kita adalah orang-orang dari golongan bangsa yang tergesa-gesa namun kurang produktif.
Dilansir dari media online INDOPOS.CO.ID edisi Jumat, 12 Oktober 2018, disebutkan bahwa Indonesia masih berada pada peringkat terbelakang dalam Indeks Modal Manusia (IMM) atau Human Capital Index (HCI). Berdasar rilis World Bank, Indonesia menduduki posisi 87 dari 157 negara. Itu lebih rendah dibanding negara-negara tetangga, seperti Vietnam peringkat 48, Thailand 65, Malaysia 55, dan Singapura peringkat 1.