Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pelayanan Teknologi di Desa

9 Juni 2020   16:47 Diperbarui: 9 Juni 2020   17:07 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Kemajuan Teknologi Informasi tidak berarti tenggelamnya teknologi yang sudah ada di masyarakat kita. Kelembagaan teknologi, setingkat Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna Desa pun bukan lantas layu, meski ia harus berebut kemenarikan dengan rupa Hitech yang melaju. 

Kementerian Desa PDTT mendefinisikan Teknologi Tepat Guna (TTG) sebagai teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mudah, murah, memiliki nilai tambah baik dalam aspek ekonomi, dan lingkungan hidup. Menilik amanat tersebut, sesungguhnya TTG selain berorientasi pada keduanya, juga menghidupkan dimensi-dimensi sosial budaya, dan politik.

Kenyataan yang dapat dilihat bahwa usaha sektor riil masyarakat, seperti industri rumah tangga, usaha bidang pertanian dalam arti luas (perikanan, peternakan, perkebunan, pertanian) produktifitasnya masih rendah kalau tidak disebut terpuruk, pasar domestik dibanjiri produk impor, karena usaha-usaha produktif itu masih kekurangan teknologi.

TTG yang kita punya, yang telah ada jika didayagunakan akan berimbas pada penaikan volume dan mutu produksi. Kita tidak harus berkiblat pada luar negeri, kebarat-baratan atau westernisasi, karena negeri ini sarat dengan potensi kalau kita mau berlelah-lelah dan berinovasi.

Melalui TTG inilah kita diajak belajar dan mampu mengadakan sumber daya, misalnya salah satu desa belum terjamah penerangan jaringan listrik PLN, maka kita harus memutar otak untuk mampu mendatangkan atau menghadirkan sebentuk teknologi untuk mematahkan "kegelapan," masyarakat -- taruhlah di desa itu dimusyawarahkan untuk membuat kincir air sebagai sumber energi yang akan membuat "sparkling" desa. Hal serupa bisa dilakukan dengan membuat pompa hidram jika disana masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih, dengan sarat ada sumber mata air atau arus sungai.

Tahapan berikut adalah bagaimana kita mampu menggunakan sumber daya yang telah tersedia tersebut, maka masyarakat seyogyanya mau dan rela belajar keteknikan opersionalisasi dari alat TTG tersebut.


Contohnya, bagaimana cara menghidupkan memasang pipa, membuat bak penampung atau menampung kabel atau pipa pralon, tahu kapan alat itu hidup dan mati, bagaimana jika sparepart rusak, bagamana memperbaikinya serta cara kerjaa yang alat TTG secara tepat.

Harus diantisipasi pula, bagimana jika alat TTG tersebut tiba-tiba tidak beropersional dan atau bahan bakunya habis. Atau lagi bagaimana jika TTG tersebut sangat bergantung pada energi BBM, padahal BBM langka, mahal bahkan hilang atau lenyap serta habis dari bumi.

Untuk itu, masyarakat mesti mampu menggantikan (mensubstitusi) TTG yang ada. Jika BBM mahal, langka dan habis, maka solusi paling cocok adalah dengan mendayagunakan sumber energi alternatif. Misalnya, kita bisa memanfaatkan kompor Biomas berbahan baku nabati, kompor batubara, kompor surya, kompor air -- TTG alternatif tersebut akan mulai dilirik manakala krisis energi menjadi-jadi, namun ketika energi atau BBM normal-biasa-biasa saja, maka peralatan di atas tidak akan banyak dilirik masyarakat.

Sumberdaya alam dan potensi yang tersimpan dalam perut bumi Indonesia adalah harta karun yang harus digali, dikelola dan dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat, dan salah satunya melalui upaya pemasyarakatan, pemanfaatan dan pengembangan TTG. Tidak boleh lupa, sifat TTG adalah menekankan lokalitas, swadesi yang berujung pada peningkatan partisipasi dan kemandirian masyarakat.  

Gugusan gerumbul, dusun, kampung, desa/kelurahan  pun akan bersenyum tatkala masyarakat kita beramai-ramai, bergerak dan berusaha dengan memanfaatkan dan mengaplikasikan TTG waktu mulai merintis maupun mengembangkan usaha produktifnya.

Menggali perut bumi, mengolah sendiri, membuat/merancang TTG sendiri, berbahan baku dari lingkungaan,  menghargai norma lokal dan tetap mencintai serta memakai teknologi bangsa sendiri juga memakai produk bangsa sendiri adalah wujud nasionalisme, integrasi bangsa riil. Dengan melakukan hal-hal di atas, bukan tidak mungkin struktur dan kultur politik kita pun semakin kokoh, sehingga sistem pemerintahan juga tidak mudah goyah dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa.

Kita juga punya lembaga TTG, yaitu Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna selanjutnya disebut Posyantek adalah lembaga pelayanan TTG antardesa yang berkedudukan di kecamatan yang memberikan pelayanan teknis, informasi dan orientasi berbagai jenis TTG.

Warung Teknologi Tepat Guna (Wartek), selanjutnya diganti penyebutanya menjadi Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna Desa. Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna Desa selanjutnya disebut Posyantek desa adalah lembaga pelayanan TTG di desa yang memberikan pelayanan teknis, informasi dan orientasi berbagai jenis TTG.

Institusi ini perlu kita optimalkan peran fungsinya, sehingga inovasi pedesaan bidang TTG berkembang dan mampu membawa perubahan besar bagi kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, masyarakat miskin, pengangguran, putus sekolah, dan penyandang disabilitas, masyarakat yang memiliki usaha mikro kecil dan menengah, pengelola posyantek Desa dan posyantek antardesa, inventor TTG; dan kelompok masyarakat lainnya terakomodir di dalamnya dalam konteks ke-TTG-an.

Swadesi Desa

Satu hal yang barangkali selama ini masih disisihkan kalau tak boleh disebut anak tiri dalam penerapan dan pengembangan TTG pedesaan, yaitu perekayasaan TTG yang dilakukan melalui kegiatan dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika secara agregat belum menjadi mata usulan dari pemerintah desa. 

Sekurangnya, dalam usulan kegiatan saat musrenbangdes maupun pada level kecamatan. Pada UMKM  di desa yang intim dengan TTG bukan tak mungkin bakal mengalirkan PAD bagi desa.

Soal lembaga TTG yang disebut Posyan TTG desa pun masih perlu diintrodusir ke tengah masyarakat desa. Hal ini, sedikitnya menjadi PR bagi pemdes untuk menggairahkan kelembagaan TTG di desa. 

Namun begitu, kita cukup apresiasi kepada pemerintah pusat, provinsi hingga Kabupaten yang telah memberi perhatian dan intervensi langsung dengan menggulirkan bantuan stimulan bagi pengembangan TTG maupun kelembagaannya, pendampingan bahkan hingga pemasarannya.

Di samping gelaran ekspose untuk memasyarakatkan TTG lewat Gelar TTG Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional. Ini menjadi bukti negara hadir sesuai mandat untuk menyejahterakan masyarakat dan melek TTG. 

Sudah saatnya dilakukan pengintegrasian sistem informasi desa (SID), BUMDES, simpan pinjam (kaum) perempuan/SPP dengan wartek di desa dan Posyantek di kecamatan di setiap Kabupaten/Kota. Posyantek Jateng telah beberapa kali mampu bicara di level nasional.

Sekali lagi, sudah saatnya kita melunasi hutang kepada rakyat dan salah satunya melalui pendayagunaan TTG dengan mengelola SDA menuju TTG inklusif. Inilah swadesi dari desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun