Mohon tunggu...
Tengku Ariy Dipantara
Tengku Ariy Dipantara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sejarawan Gadungan dan Sastrawan Amatiran yang bekerja untuk kemanusiaan @TengkuDipantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanah Lapang Sudah Hilang

28 November 2014   18:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:36 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1417148940213711484

Oleh: Tengku Ariy Dipantara. 

SEBENARNYA Kampung Pa­yah Rumput bukanlah tempat dimana aku dilahirkan. Bisa dibilang di kampung inilah segala memori masa lampau tertanam, begitu su­burnya dalam ingatan. Sebelum ber-e­volusi menjadi ‘manusia’, di tempat inilah aku lebih dahulu mempelajari bumi manusia dengan segala perma­sa­lahannya itu.

Kampung ini terletak hampir di ujung batas wilayah Sumater Utara dengan Selat Malaka. Hanya be­be­rapa belas kilometer saja dari Pe­labuhan Belawan. Mayoritas pendu­duk kampung, orang Melayu dan Ja­­wa. Kawasan Industri Medan me­ngelilingi kampung ini seperti kura-kura raksasa yang menjaga Danau Ho­an-kim di Vietnam.

Kapanpun si kura-kura raksasa lapar, dia akan me­ne­lan penduduk di dalamnya. Inilah yang membuat kampung ini memiliki nama lain: kampung buruh. Ada yang ganjil di Gang Melati. Ru­mah kami bertempat, hampir tak ada satupun anggota keluarga yang me­milih untuk menjadi buruh. Tetangga di sebelah kanan rumah tak pernah ku­tahu bekerja apa, tapi yang pasti bukan buruh. Kepala keluarganya -yang aku tak tahu namanya- sangat ja­rang terlihat. Di sebelah kiriku, Bang Edy bekerja di perkebunan. Ayah­ku sendiri, seorang kontraktor yang sering keluar kota, terutama ke Aceh. Pokoknya tak ada satupun yang memburuh.

Tepat di depan halaman rumahku mulanya ada sebuah lahan kosong be­rumput Jepang, cukup luas. Bila pagi, rombongan bebek dan ayam Bang Muji berkeliaran di situ. Sore harinya giliran aku dan abangku ber­gantian dengan mereka untuk ber­main sepak bola. Kami sering jengkel karena terinjak tai mereka.


Kami bermain berdua saja. Waktu itu tak ada anak di dalam gang yang seusia kami. Kami mendirikan se­buah gawang dengan kayu-kayuan yang kami beli di panglong, di depan kuburan China, asal saja. Kami ber­main sambil menghayal menjadi pe­main sepak bola terkenal, maksudku, jika aku yang sedang menggiring bo­la. Aku teriakkan sebuah nama: “Igor Titov!” kataku, kaki berbelok kuteriakkan nama lain: “Sergei Yu­ran!” Siapapun nama yang aku sebut sebelum mencetak gol, itulah si pen­cetak skornya. Nama-nama itu kami catat. Pencetak gol-ku selalu orang yang berbeda, tidak seperti abangku. Aku yakin dia mengakaliku, maka­nya tokoh khayalannya selalu meme­nangi perebutan top-score. Aku ma­sih ingat dengan jelas, dia selalu me­nyebut nama Batistuta saat hendak mencetak gol. Ya, dia selalu mencu­rangiku sepanjang hidupnya.

Beberapa waktu kemudian ada se­buah keluarga Batak yang ikut me­ramaikan Gang Melati. Mereka me­nempati rumah yang telah lama ko­song di depan rumahku, di samping sta­diun imajiner kami. Ayahnya me­narik becak dari pagi, hingga tengah malam. Anak perempuan tertua ke­luarga itu, Kak Etik membuka warung kecil di depan rumah, sementara adik­nya, Kak Ros, kerjanya hanya men­cari cowok. Anehnya, tak juga ada satupun dari keluarga ini yang memburuh!

Keluarga Batak ini memili­ki seorang anak laki-laki yang seusia denganku, Togu nama­nya. Kemana-mana selalu me­­ngenakan topi. Wajahnya bo­peng-bopeng. Dia baik ter­ha­dapku. Setiap sore dia selalu duduk di rerumputan sambil me­mandangi kami bermain se­pak bola.

Kami tak hendak menga­jak­nya bermain, bukan karena dia orang Batak. Kami tak ingin per­mainan menghayal ka­mi menjadi terganggu. Ka­mi merasa malu jika si Togu ta­hu tentang permainan gila ka­mi itu. Semakin lama dia mulai berani berdiri-diri me­nunggu bola yang tersepak ja­uh. Mulai berani berteriak-teri­ak girang menyoraki kami. Ma­lah mulai berani ikut me­nyepak bola yang mengarah ke tempat dia duduk.

Mau tak mau kami pun akhirnya meng­ajak dia untuk ikut bermain. Ba­gaimana ha­yalan kami? O, tidak bisa tidak, kami akan menunggu sampai dia dipanggil Kak Etik untuk memasukkan jajanan anak-anak di warung. Barulah kami mulai kembali permainan ka­mi yang mengasyikkan itu.

Permainan kami mulai ter­ganggu semenjak abangku ma­suk SMP. Jarak sekolahnya yang cukup jauh, dia juga mulai memiliki banyak teman baru di kampung itu. Hanya di hari Sabtu atau hari Minggu sajalah kami bisa melanjutkan per­mai­nan kami.

Aku mulai merasa kesepi­an. Togu tak mungkin aku ajari permainan itu. Selain dia tak be­gitu pandai bermain, pun dia sama sekali tak tahu nama-na­ma pemain sepak bola. Paling-paling yang dia hafal hanya Romario atau Ronaldo saja. Betapa bebal otaknya, mem­ba­ca saja masih mengeja satu persatu hurufnya.

Begitulah, hukum sebab-akibat membuatku menemu­kan permainan baru. Aku ge­mar melukis para pemain se­pak bola dunia di belakang ker­tas kalender. Kecil-kecil aku gambari mereka. Bunda­ku senang melihatnya,

“Kayak betulan mukanya,” katanya membanggakan hasil seniku kepada teman-teman PKK-nya. Gambar-gambar itu aku potongi dengan gunting se­suai bentuk dan ukuran. Aku kumpulkan dan jual ke teman-teman di sekolahku. Lumayan. Satu kesebelasan aku hargai lima ratus perak. Uangnya aku tabung untuk membeli pinsil air berwarna seharga dua ribu lima ratus beserta kertas karton. Bisa dibilang, inilah kali perta­ma aku mengenal daya cipta yang bisa menghasilkan uang. Alangkah gembiranya.

Untuk melengkapi kerja ke­senianku, aku membutuh­kan beberapa amunisi yang ka­dang membuatku jengkel dalam mengumpulkannya. Seperti Koran Bola yang terbit se­tiap hari Selasa dan Jum’at.  Aku membutuhkan koran itu se­bagai acuan dari wajah para pe­main bola yang hendak aku gam­bar. Sialnya, warung koran yang menyediakan Koran Bola hanya ada di simpang Titi Papan, sekitar lima kilometer jaraknya dari ru­mah. Aku tak diizinkan Bunda naik sepeda ke sana.

“Banyak truk, ditabraknya re­muk tulang itu!” Jadi aku hanya bisa membeli Koran Bola bila Ayah mau mengantar ke sana, le­bih sering tak maunya.

Amunisi kedua adalah gunting. Entah kenapa, sangat sulit mene­mu­kan gunting di dalam rumah ka­mi. Padahal harganya hanya tu­juh ratus lima puluh perak. Rasanya aku ogah bila uangku ke­luar hanya untuk membeli gun­ting, disaat yang sama aku sadar membutuhkannya. Mungkin ini yang dinamakan berhemat atau le­bih pantas disebut kikir? Aku beranggapan harusnya bundaku lah yang membeli gunting itu, ka­rena aku merasa gunting adalah sa­lah satu alat kebutuhan rumah. Dalih ini membuat aku tak rela un­tuk membelinya. Aku menangis saat melihat gunting yang dibeli Bunda adalah gunting yang telan­jang tanpa karet menutupi pega­ngan­nya. Itu membuat jari telun­juk­ku ngilu.

Mungkin benar apa yang di­katakan oleh Ayah tentang diriku: “Angek-angek tai ayam!” Ya! Itulah aku. Beberapa minggu saja aku sudah bosan lalu meninggal­kan dunia lukis-melukis itu. Se­lama beberapa hari Bunda me­mandangiku sambil tersenyum sa­at aku golek-golekan di ruang ta­mu.

“Enggak gambar lagi, Ri?” ka­tanya kepadaku. Aku diam saja. Entah kenapa aku merasa tersing­gung dengan pertanyaan itu. Te­man-teman di sekolah juga ikut-ikutan menanyaiku. Sama saja eks­presiku, diam sambil mere­ngut. Tak masalah, lewat seming­gu, semuanya sudah pada lupa. Kehidupan kembali berjalan se­akan aku tak pernah mengerjakan itu semua.

Lewat caturwulan dua, abang­ku mulai sering pulang tepat waktu dari sekolahnya. Jam dua teng. Tak perlu kutanyakan ada apa. Me­lalui omongan Ayah dan Bun­da aku mengetahui, dia dimusuhi teman-temannya entah gara-gara apa.

Setiap jam empat sore, sambil nongkrong menyirami bunga -halaman kami dipenuhi pot bunga yang sampai sekarang aku tak per­nah hafal jenis dan nama-na­manya- dia selalu mencuri pan­dang ke arah kami -aku dan Togu- yang asik bermain adu pinalti. Sepertinya dia merasa bersalah ka­rena mengacuhkanku bebera­pa bulan belakangan.

Di suatu siang seusai aku pu­lang sekolah, aku mendapati se­buah kertas besar yang penuh de­ngan tulisan ceker ayam. Isinya menunjukkan tabel klasemen se­perti yang biasa aku lihat di Koran Bola. Di bagian paling bawah ter­dapat kotak dengan judul tulisan; top-score. Sambil membawa se­piring nasi dia berkata padaku.

“Gabriel Batistuta calon tope-scorer-nya pemirsa!” Dimulailah kembali permainan kami yang telah lama kami rindukan.

Sejak kecil aku menyenangi sesuatu yang tak banyak disena­ngi orang. Aku tak mampu me­ngingat apa yang membentuk ka­rakterku menjadi begini. Bila ke­banyakan teman sekolahku me­nyenangi Tim Nasional Brazil atau Argentina, aku malah memi­lih Rusia sebagai favorit. Padahal nantinya, menembus penyisihan grup Piala Dunia 1998 saja Rusia tak mampu. Aku memfavoritkan Dimitri Alenichev, pemain asal Spartak Moskow. Tendangan pi­sangnya jago, berwajah tampan yang dingin, dan gocekannya juga mantap. Bila berbicara soal club, aku menyukai Napoli. Nah, lihat?

Lagi-lagi aku mencintai sesu­a­tu yang minoritas. Maradona te­lah lama meninggalkan Napoli. Saat itu yang tersisa hanyalah Fa­bio Cannavaro dan Giuseppe Taglialatela. Mungkin dari sinilah bakat romantisis yang nanti bakal menguasai diriku sepenuhnya la­hir. Selalu merindukan masa lam­pau yang penuh kebesaran.

Bulan September, Oktober, No­vember hingga Desember ada­lah bulan-bulan yang menjeng­kelkan buat kami.

“Ber..Ber.. Sedia Ember!” kata bunda mengejek deretan bu­lan menjelang akhir tahun yang selalu rutin menumpahkan hujan. Bila hujan datang, ‘stadiun’ kami menjadi becek tak berbentuk. Bun­da melarang keras untuk man­di hujan seperti anak-anak kam­pung selazimnya.

“Nanti pada kudisan!” katanya mengancam kami. Kosonglah tabel klasemen selama tiga bulan itu. Sungguh membuat perasaan jadi tak enak.

Beberapa hari setelah peraya­an Tahun Baru, seorang Bapak-bapak bersuku Padang datang ke rumah kami, Ajo Kelik namanya. Kelak, sampai masuk SMA aku ba­ru bisa melunturkan rasa den­damku terhadapnya. Apa pasal? Dia hendak membangun sebuah rumah kontrakan di depan rumah kami, ya, tepat di atas ‘stadiun’ tersayang yang sudah kami rasa sebagai kepunyaan kami pribadi. Ayah tak bisa melarangnya, ka­rena tanah itu memang bukan mi­lik siapa-siapa. Sepertinya Bun­da dapat merasakan, kedata­ng­an Ajo Kelik adalah kisah horor untukku. Aku tahu karena setelah Ajo Kelik pulang, Bunda langsung memeluk tubuhku dengan begitu erat.

Menjelang kenaikan kelas, aku mendapat tugas mengganti­kan Abang untuk menyiram bu­nga setiap sore. Dari tempatku du­duk, aku memperhatikan para pekerja yang pelan-pelan mulai memenuhi ‘stadiun kami’ dengan tumpukan bata, semen, pasir dan segala macam material bangunan lainnya. Aku marah, jengkel, ge­regetan. Aku ingin nangis setiap menatap dan menyadari, betapa semrawutnya lapangan itu jadi­nya. Rumah itu tak siap-siap, pe­kerjanya malas-malas. Tahu be­gini kenapa tidak ditunda saja pem­bangunannya, hingga dua atau ti­ga bulan lagi? Paling tidak, biar­kanlah kami menamatkan permain­an kami dahulu.

Menjelang aku menuntaskan tugas soreku, Abang pulang berbon­ce­ngan dengan Ayah. Aku melihat, dia melirik sekilas ke lapangan itu sambil tersenyum. Dia menyapaku sam­bil tersenyum pula. Mungkin se­nyuman yang lahir dari sebuah kere­laan atas kehilangan. Selamat tinggal stadiun tersayang!

Dimuat di Harian Analisa, 9 November 2014

http://analisadaily.com/news/read/tanah-lapang-sudah-hilang/79878/2014/11/09

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun