Mohon tunggu...
Tengku Ariy Dipantara
Tengku Ariy Dipantara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sejarawan Gadungan dan Sastrawan Amatiran yang bekerja untuk kemanusiaan @TengkuDipantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanah Lapang Sudah Hilang

28 November 2014   18:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:36 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1417148940213711484

Permainan kami mulai ter­ganggu semenjak abangku ma­suk SMP. Jarak sekolahnya yang cukup jauh, dia juga mulai memiliki banyak teman baru di kampung itu. Hanya di hari Sabtu atau hari Minggu sajalah kami bisa melanjutkan per­mai­nan kami.

Aku mulai merasa kesepi­an. Togu tak mungkin aku ajari permainan itu. Selain dia tak be­gitu pandai bermain, pun dia sama sekali tak tahu nama-na­ma pemain sepak bola. Paling-paling yang dia hafal hanya Romario atau Ronaldo saja. Betapa bebal otaknya, mem­ba­ca saja masih mengeja satu persatu hurufnya.

Begitulah, hukum sebab-akibat membuatku menemu­kan permainan baru. Aku ge­mar melukis para pemain se­pak bola dunia di belakang ker­tas kalender. Kecil-kecil aku gambari mereka. Bunda­ku senang melihatnya,

“Kayak betulan mukanya,” katanya membanggakan hasil seniku kepada teman-teman PKK-nya. Gambar-gambar itu aku potongi dengan gunting se­suai bentuk dan ukuran. Aku kumpulkan dan jual ke teman-teman di sekolahku. Lumayan. Satu kesebelasan aku hargai lima ratus perak. Uangnya aku tabung untuk membeli pinsil air berwarna seharga dua ribu lima ratus beserta kertas karton. Bisa dibilang, inilah kali perta­ma aku mengenal daya cipta yang bisa menghasilkan uang. Alangkah gembiranya.

Untuk melengkapi kerja ke­senianku, aku membutuh­kan beberapa amunisi yang ka­dang membuatku jengkel dalam mengumpulkannya. Seperti Koran Bola yang terbit se­tiap hari Selasa dan Jum’at.  Aku membutuhkan koran itu se­bagai acuan dari wajah para pe­main bola yang hendak aku gam­bar. Sialnya, warung koran yang menyediakan Koran Bola hanya ada di simpang Titi Papan, sekitar lima kilometer jaraknya dari ru­mah. Aku tak diizinkan Bunda naik sepeda ke sana.

“Banyak truk, ditabraknya re­muk tulang itu!” Jadi aku hanya bisa membeli Koran Bola bila Ayah mau mengantar ke sana, le­bih sering tak maunya.

Amunisi kedua adalah gunting. Entah kenapa, sangat sulit mene­mu­kan gunting di dalam rumah ka­mi. Padahal harganya hanya tu­juh ratus lima puluh perak. Rasanya aku ogah bila uangku ke­luar hanya untuk membeli gun­ting, disaat yang sama aku sadar membutuhkannya. Mungkin ini yang dinamakan berhemat atau le­bih pantas disebut kikir? Aku beranggapan harusnya bundaku lah yang membeli gunting itu, ka­rena aku merasa gunting adalah sa­lah satu alat kebutuhan rumah. Dalih ini membuat aku tak rela un­tuk membelinya. Aku menangis saat melihat gunting yang dibeli Bunda adalah gunting yang telan­jang tanpa karet menutupi pega­ngan­nya. Itu membuat jari telun­juk­ku ngilu.

Mungkin benar apa yang di­katakan oleh Ayah tentang diriku: “Angek-angek tai ayam!” Ya! Itulah aku. Beberapa minggu saja aku sudah bosan lalu meninggal­kan dunia lukis-melukis itu. Se­lama beberapa hari Bunda me­mandangiku sambil tersenyum sa­at aku golek-golekan di ruang ta­mu.

“Enggak gambar lagi, Ri?” ka­tanya kepadaku. Aku diam saja. Entah kenapa aku merasa tersing­gung dengan pertanyaan itu. Te­man-teman di sekolah juga ikut-ikutan menanyaiku. Sama saja eks­presiku, diam sambil mere­ngut. Tak masalah, lewat seming­gu, semuanya sudah pada lupa. Kehidupan kembali berjalan se­akan aku tak pernah mengerjakan itu semua.

Lewat caturwulan dua, abang­ku mulai sering pulang tepat waktu dari sekolahnya. Jam dua teng. Tak perlu kutanyakan ada apa. Me­lalui omongan Ayah dan Bun­da aku mengetahui, dia dimusuhi teman-temannya entah gara-gara apa.

Setiap jam empat sore, sambil nongkrong menyirami bunga -halaman kami dipenuhi pot bunga yang sampai sekarang aku tak per­nah hafal jenis dan nama-na­manya- dia selalu mencuri pan­dang ke arah kami -aku dan Togu- yang asik bermain adu pinalti. Sepertinya dia merasa bersalah ka­rena mengacuhkanku bebera­pa bulan belakangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun