Berpeluh keringat berpondasi semangat.
Segenggam harap, dengan niat sedikit cuap.
Bibit terbaik menanti untuk dipetik.
Doa dan mimpi keluarga selalu terjaga
Secangkir Kopi dari petani untuk sesuap nasi.
Sekiranya frasa di atas menggambarkan secarik literasi petani di ponsel pintar yang sedang anda genggam ditemani secangkir kopi hangat, baik itu di kedai kopi, Coffee shop, kantor, atau rumah.Â
Cerita panjang tak melulu harus berujung, pun cerita pendek tak melulu pula harus ber-seri. Setiap seduhan si hitam emas memiliki esensi yang berbeda dari masing masing kebun.
Iya, kebun si petani kopi selalu memilki suka cita disetiap kisahnya, mengasumsikan statment saya bahwasanya panjang atau pendeknya sebuah perjalanan secangkir kopi pasti ada kisah dan cerita menarik di dalamnya.
Paragraf pertama menjadi pembuka, semoga tak sampai disitu saja. Berbicara trend kopi yang terjadi saat ini di anggap pelik, bisa jadi. Tapi dianggap mudah, tidak juga (tidak semua pelaku mau/tau untuk bergerak). Kisah panjang zaman Belanda ketika Indonesia dijajah kala itu, menjadi salah satu akar sejarah perkembangan komoditas kopi di Indonesia.Â
Dengan analisa Belanda secara demografi, secara kultur tanah, suhu kebun, bahkan hingga kearifan lokal  masyarakat Indonesia dirasa layak untuk dijadikan pabrik produksi "biji merah" kopi, yang kemudian di proses secara baik, benar, dan layak sehingga dapat memperoleh cita rasa yang maksimal.Â
Sayangnya kala itu, segelintir saja warga Indonesia yang peka dan tau serta mau untuk mempelajari proses memperlakukan biji kopi hingga secangkir gelas. Kemudian seiring berjalannya waktu rumus pola memperlakukan kopi hilang ditelan waktu. Apakah itu pertanda mimpi buruk bagi petani? Penulis berada di posisi ambigu jika pertanyaan tersebut muncul.
Secercah harapan era saat ini, jika benar adanya penikmat kopi specialty mulai meningkat. Hal tersebut juga balance pada maraknya kedai kopi, coffe shop, hingga roastery yang makin lama makin bermunculan dipermukaan dengan kualitas yang menjanjikan pula.Â
Penulis mencoba naik secara perlahan dari kebun ke kebun, desa ke desa, kecamatan ke kecamatan, hingga kota ke kota, bahkan beberapa provinsi ke provinsi untuk langsung bertatap muka seraya menimba ilmu terkait dengan aset komoditas si emas hitam tersebut.Â
Jujur, bukan perkara mudah melakukan perjalanan ini. Tak sedikit yang menyatakan keberatannya dengan revolusi pasca panennya tapi tetap setia menyetorkan kopi ke tengkulak andalannya, dan tetap serta mengeluhkan harga kopi yang tetap rendah.
Sekali lagi penulis coba gambarkan sebuah idiom yang ambigu jika pola dan konsep tersebut tetap berjalan. Sebagai catatan dengan benang merah, murni ini bukan salah dari petani.Â