"Apa kau punya hati nurani," tanya Wanni singkat dengan nada yang paling tulus yang pernah hadir ditelinganya. Seorang ulama terkenal yang pernah ia ajak berbincang tentang ini tak akan sanggup memberi getaran yang sama pada sebuah tanya tentang hati nurani. Gila!
Klik tertawa terbahak-bahak sampai-sampai mengeluarkan tangis. Sebenarnya ia ingin lebih dulu menangis sebelum tertawa. Akan tetapi rasa malu menutupi hati nuraninya yang nyaris terlupa telah ia letakkan di mana. Rasanya dulu sekali, pernah menemukannya. Jauh sebelum dirinya menjadi jajaran elite KPKers. Terkadang pekerjaan ini menuntutnya mengenyahkan hati nurani.Â
"Baiklah, cukup!" Teriak Wanni tegas.Â
"Kau sudah berkata jujur padaku. Aku akan membeberkan seluruh kejahatanku padamu. Tugasmu jadi kian mudah bukan," tanyanya dengan sikap legawa.
"Tidak sekarang! Besok saja!" Pinta Wanni sambil menyerahkan secarik kertas berisikan alamat tempat pertemuan dengan cukong-cukong narkoba dan politikus gila lainnya.
Klik terbungkam. Ditatapnya Wanni dengan pandangan heran. Semudah itukah? Tujuh tahun penantian yang panjang hanya sirna dengan sebuah jawaban tentang hati nurani. Tanpa satu patah kata pun. Benar-benar Gila!
***
Belum ada tanda-tanda tikus keparat itu akan tiba. Anak buahnya telah memasang kamera intai dan alat penyadap canggih yang dibutuhkan. Semua telah bersikap waspada. Dua pasukan khusus anti keparatisme telah dihadirkan. Masing-masing pasukan berjumlah dua puluh personel yang memiliki keahlian di atas Gegana dan Kopassus. Telah puluhan keparat kelas kakap terjaring oleh operasi mereka.
Entah bagaimana dan kapan, Klik dan personelnya yang bersiap siaga selama tiga jam dengan seluruh pengawasan ketat tak mampu mendengar satu percakapan pun. Begitu juga kamera intai super canggih tak bisa menangkap sebuah kegiatan berarti.Â
Hanya ada seorang anak kecil yang berjalan menghampiri dengan memegang secarik kertas. Bertuliskan huruf kapital "ADIOS AMIGOS HATI NURANI!"
BOOM!