Ada sebuah tulisan dari masa lalu yang sampai padaku. Tulisan yang menyebut aku tidak punya etika, bahkan mengintimidasi layaknya pecundang. Kata-kata itu tajam, seolah ingin menggoreskan luka baru di hati yang sebenarnya belum pulih. Namun aku memilih menerimanya dengan lapang dada. Jika dengan menyebutku demikian hatinya bisa tenang dan bahagia, biarlah. Tidak apa-apa bagiku, karena mungkin di sanalah jalan hatinya menemukan ketenteraman.
"Tidak punya etika," katanya. Aku tidak membantah. Mungkin benar, mungkin tidak. Tapi aku tahu rasanya diputuskan dari jauh, tanpa penjelasan, tanpa kesempatan untuk mengerti. Aku datang, ataupun menuliskan ini, bukan untuk marah dan bukan pula untuk menuntut. Aku hanya ingin tahu satu hal sederhana: "Kenapa?" Sebab setiap perpisahan pasti punya sebab, dan setiap cinta berhak mendapatkan penutup yang jelas.
Jika langkahku, bahkan tulisanku, dianggap sebagai intimidasi, biarlah. Aku tidak ingin melawan atau membela diri. Yang kutahu, aku datang dan menulis dengan hati yang masih menyimpan cinta, meski penuh luka. Dan bila itu tampak salah di matanya, aku rela menanggung semua kesalahan itu seorang diri. Tidak apa-apa, aku terima semua perkataan dan sebutan tentang diriku, selama ia mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan.
Dulu aku pernah marah, karena dibanding-bandingkan dengan siapa pun. Rasanya sakit, seakan kehadiranku tidak pernah cukup. Namun kini, dengan besarnya cintaku, aku menerima itu semua. Tidak ada lagi amarah, hanya pengertian, bahwa setiap orang berhak mencari kebahagiaannya sendiri, meski bukan bersamaku.
Aku sadar, mungkin marahnya padaku masih besar. Mungkin ada kecewa yang tak sempat ia ucapkan dulu. Dan jika semua itu kini keluar dalam bentuk kata-kata yang menusuk, aku ikhlas menerimanya. Karena aku percaya, aku memang layak mendapatkan segala bentuk amarahnya.
Aku tidak akan menyalahkan, tidak pula akan balik menunjuk. Bagiku, mencintai juga berarti menerima sisi paling gelap dari seseorang yang kita sayangi. Jika dengan menyebutku pecundang ia merasa lebih lega, maka biarlah. Itu bukan penghinaan bagiku, melainkan tanda bahwa aku masih punya tempat di hatinya---meski hanya sebagai bayangan masa lalu yang salah.
Aku masih mencintainya, dengan segala kekurangan yang pernah ia tunjukkan padaku. Bahkan dengan kemarahannya, aku tetap melihatnya sebagai seseorang yang pernah memberiku kebahagiaan. Maka, apa pun sebutannya tentang diriku, aku akan menerimanya tanpa melawan.
Cinta mengajarkan bahwa tidak semua harus dibalas. Bahkan aku akan tetap berusaha memberikan yang terbaik untuknya, meski kini ada sosok lain yang lebih pantas dan mampu menjaganya. Karena aku tahu, ia pernah memberikan yang terbaik dalam hidupku. Kadang yang terbaik adalah diam, mengalah, dan tetap mendoakan. Pada akhirnya, bukan soal siapa yang benar atau salah, melainkan siapa yang masih bisa mencintai dengan tulus, meski dari kejauhan.
Dan aku memilih menjadi orang itu---orang yang tidak membalas hinaan dengan hinaan, tidak melawan amarah dengan amarah. Biarlah sejarah menuliskan aku sebagai "orang tanpa etika" jika itu menenangkannya. Karena bagiku, cinta sejati adalah tetap menerima, bahkan ketika yang kita terima hanyalah luka.