Empat belas tahun aku berjalan sendirian. Kesendirian yang kadang terasa ringan, kadang menghimpit seperti beban di dada. Bukan karena aku tidak ingin memiliki pasangan, tetapi karena aku tahu, memilih pasangan hidup bukanlah perkara yang bisa dilakukan tergesa-gesa.
Ia bukan sekadar tentang menemukan seseorang yang membuatku tertarik, tetapi tentang menemukan dia yang mampu melihat seluruh diriku---baik yang indah maupun yang rapuh---dan tetap memilih untuk tinggal.
Kesendirian adalah ruang panjang yang sunyi. Namun di dalamnya, Tuhan menanamkan banyak pelajaran. Ia mengajarkanku untuk tidak mengukur waktu dengan jam atau kalender, tetapi dengan kedalaman hati yang siap menerima.Â
Ia memurnikan kerinduanku, melatih kesabaranku, dan menguji imanku sampai aku benar-benar mengerti bahwa pasangan hidup bukan sekadar teman berbagi cerita, tetapi sahabat jiwa yang berjalan searah, seirama, dan sehati menuju tujuan kekal.
Sebagai seorang pria Kristen Protestan, aku tahu bahwa fondasi yang kokoh hanya dapat dibangun di atas kesamaan iman. Aku mencari dia yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, yang menjadikan Alkitab sebagai pedoman, yang hidupnya memegang nilai kejujuran, kesetiaan, tanggung jawab, dan kasih yang murni.
Kami tidak harus mengerjakan profesi yang sama, tidak harus berada di pelayanan yang sama, tetapi kami harus memandang ke arah yang sama--- membangun keluarga yang memuliakan Tuhan. Namun iman saja tidak cukup. Aku merindukan karakter Kristus di dalam dirinya---takut akan Tuhan yang memancar dari tutur katanya, kerendahan hati yang membuatnya mau belajar dan bertumbuh, kesetiaan yang tidak diukur oleh keadaan, kejujuran yang tidak mengenal topeng, dan kasih yang tulus tanpa pamrih.
Aku ingin kami memiliki komunikasi yang jernih---bicara dari hati ke hati tanpa takut dihakimi, menyelesaikan perbedaan tanpa harus saling menjauh, dan saling menguatkan di tengah kelemahan masing-masing. Karena aku percaya, cinta yang sehat hanya bisa tumbuh di hati yang dewasa dan tenang.
Lalu, di suatu titik perjalanan hidup, Tuhan mempertemukanku dengan seseorang. Bukan pertemuan yang kuatur, bukan pula kebetulan semata, tetapi seperti jawaban yang datang di saat aku sedang berdoa. Ia memiliki iman yang teguh, nilai yang murni, dan senyum yang membawa damai.Â
Bersamanya, hari-hari berjalan seperti aliran sungai yang tenang. Kami berbicara tentang mimpi, tentang masa depan, tentang bagaimana keluarga kelak berdiri di atas Firman. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan dicintai seutuhnya--- diperhatikan tanpa syarat, dikasihi tanpa keraguan, diterima tanpa harus menyembunyikan luka. Bahagia yang murni, yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Namun... tanpa tanda yang jelas, cerita itu mulai berubah. Bukan karena kami saling melukai, bukan karena cinta hilang, tetapi karena ada pintu yang Tuhan tutup. Kadang, meskipun segalanya tampak sempurna di mata manusia, Tuhan memiliki rencana yang tak selalu dimengerti oleh logika.