Mohon tunggu...
Teguh Ananto
Teguh Ananto Mohon Tunggu... Administrasi - Tinggal di Bengkulu

pengopi, bukan perokok

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Politik Rumahan

9 April 2019   12:43 Diperbarui: 9 April 2019   13:15 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Menghadapi pemilu serentak 17 April 2019, di keluarga sayaterdapat lima pemilih. Saya, istri, dan tiga anak yang tergolong pemilihmilenial.  Tiga anak itu tentu menjadibagian dari 80 juta generasi Y dan Z yang kini gencar disasar kontestan pemiluagar memilih mereka.

Terus  terang, ketika dirumah,  saya jarang bicara politikpraktis. Anak yang sulung lebih antusias jika diajak bicara olshop, yang tengahlebih antusias berbicara mengenai sepakbola dan sesekali tentang sejarah (kalauini karena saya yang memancingnya), sedangkan si bungsu sering mendekat kalauada rumus-rumus yang membingungkannya.

Apakah mereka tak peduli pemilu ? Jelas tidak. Perkembanganpoling pilpres mereka tahu. Meme-meme lucu mereka tiru.  Kutipan-kutipan atau statatemen singkat, yangbertebaran di dunia medsos, yang minim informasi namun sarkastis, mereka jugatahu. Di sinilah persoalannya.  Mereka,anak-anak milenial, yang hidupnya sebagian berada di dunia maya, minim sekalipengetahuan mereka tentang hidup, kehidupan, dan track record para calon.Informasinya sebatas potongan-potongan kutipan, dan sepertinya tak adakeinginan untuk tahu lebih dalam melalui referensi literatur.

Namun saya masih bersyukur. Setiap kali pulang, seberondong pertanyaan terkait isu-isu yangmenyangkut pemilu, selalu ditodongkan pada saya.  Benar gak itu pak ?  Itu ceritanya gimana pak ? Kawan sayamengatakan begini, pak,  menurut Bapakgimana ?  dan seterusnya dan seterusnya.

Jadilah, saya harus bertindak sebagai bapak yang tahu segalahal.   Pertanyaan-pertanyaan mereka sayakupas. Menjawab pertanyaan mereka, takpernah saya menyatakan benar atau salah. Saya hanya mengajak mereka untukberfikir logis, menunjukkan dimana kesalahan berfikir atas statemen singkatyang mereka baca, dan saya yakin anak-anak itu dapat menyimpulkan sendiri manayang hoax, mana yang tendesius, dan mana yang seharusnya benar.   Beruntunglahanak-anak saya masih punya tempat bertanya. Jika tidak, betapa kasihan merekaharus menelan makanan yang bahkan mereka tak tahu itu makanan apa dan apamanfaatnya, bahkan kadang bercampur aduk dengan bumbu-bumbu yang tak jelas.

Apakah saya mengarahkan pilihan pada mereka ?  Sebagai bapak yang menyayangi anak-anaknya, ditengah minimnya informasi yang mereka miliki, apakah saya memiliki pilihan lain?  Tentu saya tak memaksakan. .  Ini hanya politik rumahan, di mana persoalan-persoalan bisa diselesaikan dimeja makan. 

------------------------

Bila  di pemilihan presiden, pemilih milenial banyak dicekoki potongan-potongan info yang "suka tak kurang puji, benci takkurang hujat",  pada pemilihanlegislatif, nyaris tak ada info mengenai sosok caleg (calon legislatif) yangmasuk kepada mereka. Beberapa calon DPR dan DPD mungkin mereka tahu, tapi calonDPRD I maupun DPRD II, nyaris tak ada yang mereka kenal. Ketika anak-anak sayaajak jalan dan melewati tegakkan baliho caleg di beberapa sudut kota, takpernah mereka bertanya itu siapa. Padahal saya tahu, mereka tak kenal dengan siempunya baliho.   Tentu saya takmenyalahkan anak-anak jika tak mengenal caleg-caleg itu.  Selain lingkungan aktifitas mereka memangtidak sepergaulan dengan para caleg, umur mereka pun jauh bersenjang jauh.  

Tak pelak, memilih tanpa tahusiapa yang dipilih, adalah perjudian besar. Lalu siapa yang harus memperkenalkan sosok caleg pada mereka ?Lagi-lagi, saya hanya mengambil peran politik rumahan : dimanapersoalan-persoalan dapat diselesaikan di meja makan.  Sesekali, sambil ngobrol dengan anak-anak,saya kenalkan beberapa sosok yang saya kenal. Sebatas yang saya tahu. Sebatas yang saya pernah berinteraksi. Walhasil,pemahaman mereka tentang pemilu legislatif memang bukan pada partai, ideologi,atau visi, tetapi disederhanakan menjadi memilih "kawan bapak".  Masih besyukur bahwa anak-anak memiliki orangtua yang bisa memberikan pertimbangan dalam memilih calon.  Bila orang tuanya pun tak mengenal caleg,pertimbangan apa yang akan mereka gunakan ?

Departemen Ilmu Komunikasi Fisip UI, pernahmempresentasikan penelitian bertajuk Millenial's Voting Behavior in Indonesia(11/12/2018) yang memetakan pemilih milenial menjadi empat karakteristik :doubtfulness (belum menentukan pilihan), open minded (telah menentukan pilihan), modest (pilihan mengikuti orangterdekat, umumnya mengikuti pilihan orang tua), dan apathetic (tidak peduli).  Survei "Connecting with the Millenial" yangdilakukan VISA di Indonesia, juga memberikan gambaran bahwa generasi milenialIndonesia masih menempatkan orang tua sebagai pusat pertimbangan danpengambilan keputusan.  Karena itulah bagipara cale -- barangkali - alih-alih berkampanye langsung kepada anak-anak milenial,  merasa lebih efektif memperkenalkan dirimelalui orang tuanya. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun