Mohon tunggu...
Teguh Yuswanto
Teguh Yuswanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Suka belajar hal baru

jurnalis dan penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Melupakan Tiara (1)

19 Februari 2019   08:44 Diperbarui: 19 Februari 2019   08:50 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pergi yang jauh. Itulah salah satu langkah untuk mengobati luka ini. Menyingkir sejauh-jauhnya dari pusat titik api cinta. Menghindar sejauh-jauhnya dari lokasi kenangan. Aku jatuh cinta pada teman sekelas. Sayang, cintaku yang tulus ini tak terbalas. Dia lebih memilih temanku. Saking cinta dan sayangnya aku padanya, aku ingin dia bahagia. Itulah barangkali, semestinya  cinta. 

Tapi aku tetap tidak mengerti.  Kenapa, aku yang aktif di OSIS, sering juara kelas, dan yang pasti humoris, bisa menghangatkan suasana, gagal saat mencintai teman sekelas. Apakah aku kurang istimewa untuk dia? Padahal dia juga bukan cewek yang paling cantik. Bukan juga paling pintar.   Aku berpikir kalau diukur dari hal-hal yang tampak di luar, tak ada kesenjangan berarti. Bukan cintanya hamba kepada sang putri.

 Tapi dia sangat menarik. Sanggup menarik aku menjadi orang yang mau berbicara serius. Di hadapan dia aku bisa bicara hal-hal yang serius. Sebab selama ini, di sekolah, aku nyaris tak pernah bicara serius. Selalu guyon. Pelajaran paling serius pun aku sikapi dengan banyak guyonan. Serius maksudnya sanggup membuat siswa-siswa mengernyitkan dahi.

Pelajaran Biologi, Fisika, Kimia dan Matematika yang merupakan momok bagi teman-teman, buat aku biasa saja. Entah dapat bisikan dari mana, aku menganggap pelajaran itu sama seperti pelajaran yang lain. Aku telah memiliki kesadaran sendiri tanpa ada yang memberi tahu bahwa semua pelajaran sama.

Kalau mau pandai,  harus berlatih. Itu saja kuncinya. Seperti menari atau pencak silat. Jika ingin mahir, harus banyak berlatih.  Musuh utama pelajar adalah malas. Termasuk aku juga.  Malas karena lebih tertarik bermain. 

Maunya pelajaran Fisika dan Matematika bisa dengan sendirinya tanpa belajar. Tapi yang sering terjadi melakukan langkah yang potong kompas. Jika musim ulangan tiba, hanya menghapal rumus-rumus. Kadang menuliskannya di telapak tangan sebagai bahan contekan. Bukan berusaha untuk memahami dan mengerti. Kadang ada juga yang sampai halu tingkat tinggi. Ingin mahir pelajaran Fisika dan Matematika secara laduni.

Pernah, saat belajar mata pelajaran Biologi, Guruku bilang bahwa di masyarakat masih banyak yang mempercayai klenik dan takhayul. Tidak mengkaji, bahwa sesungguhnya segala sesuatu bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Kata Guruku, ada dukun yang mengobati pasien yang terkena penyakit gondok dengan memberi minuman air garam dicelupkan jarum jahit.

Dengan minum itu secara rutin, gondok akan hilang. Kata Guruku, itu bukan klenik. Bukan karena dukunnya yang sakti tapi pengaruh garam yodium. Orang terkena gondok karena kurang yodium, nah begitu dikasih minum air garam kebutuhan yodium dalam tubuh akan terpenuhi maka gondok akan sembuh.

"Jadi tidak harus dicelupi jarum jahit juga akan sembuh," tutur Guruku di dalam kelas pada satu hari.

Terus aku yang memang hobinya bikin celetukan agar teman-teman sekelas tertawa langsung menyambar ucapan Pak Guru.

"Pak, kenapa tidak minum air laut saja? Tidak perlu capek-capek," celetukku yang disambut suara tertawa seluruh kelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun