Mohon tunggu...
Teguh Ari Prianto
Teguh Ari Prianto Mohon Tunggu... Penulis - -

Kabar Terbaru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mendulang Asa TV menjadi Partner Pendidikan Era Digital

5 November 2022   10:12 Diperbarui: 23 November 2022   12:15 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengembangan pendidikan melalui tayangan TV Digital.| Dok Polytron via Kompas.com

Sekelompok tetangga berbondong-bondong ke rumah tetangga lainnya untuk menyaksikan tayangan televisi atau TV, adalah pemandangan biasa pada masa-masa tahun 1980an akhir hingga 1990 awal. Bisa disebut, orang memiliki TV saat itu masih jarang terutama di pedesaan.

TV yang ditonton dengan saluran yang terbatas saja yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI). Menginjak tahun 1991, baru ada siaran dari Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), saluran TV milik salah satu keluarga Cendana yang sukses memulai debut baru pertelevisian swasta Indonesaia Era Presiden Soeharto.

Ritual khas sebelum menonton TV, orang-orang duduk tenang lalu seseorang harus ada yang bersedia membantu tuan rumah memutar-mutar tiang antene TV yang terpasang di luar rumah sampai mendapatkan kualitas gambar terbaik yang diinginkan.

"Gambarnya buram, banyak semutnya!" Celetuk salah satu tetangga yang sudah tidak sabar segera menonton TV. Mencari kualitas gambar siaran TV yang baik pada saat itu bukan perkara mudah.

Alat tangkap sinyalnya baru mengandalkan antene TV luar. Menyusul ditemukannya penangkap sinyal lain saat awal-awal RCTI mengudara yaitu menggunakan antene booster. 

Alatnya cukup sederhana, dipasang bersama dengan antene luar. Fungsi alat berbentuk plastik box kotak dengan rangkaian elektronik sederhana ini, dipasang sebagai penguat dalam penerimaan sinyal oleh TV UHF (Ultra High Frequensi).

Sebetulnya, pada masa itu, penangkap siaran TV ada juga yang dinamakan antene parabola. Penangkap siaran TV luar negeri dengan harga relatif tinggi, jarang orang memilikinya apalagi dengan kondisi ekonomi orang Indonesia berada dibawah rata-rata. Hanya mereka yang berpunya, memiliki peluang menyediakan parabola.

Televisi menjadi menarik bagi banyak orang karena dianggap sebagai hasil inovasi dari keberadaan alat komunikasi yang berkembang saat itu setelah radio, telepon atau ada juga saluran komunikasi komunitas semacam interkom.

Keunggulannya, TV menyajikan gambar dan suara secara bersamaan. Tayangannya lebih variatif dan memberi sifat menghibur. Kehadiran siaran TV pada saat itu pun, hampir sama dengan saat ini yaitu menjadi alat komunikasi dan propaganda di dalam negeri terutama pemerintah.

Jumlah saluran TV dalam negeri yang sedikit dan sepenuhnya dikuasai pemerintah, membuat masyarakat tidak dapat mencari pilihan lain saluran dan tayangan program selain apa-apa saja yang bisa pemerintah sajikan. Jam tayang terbatas, hanya beberapa waktu saja dalam sehari. Acaranya pun cenderung monoton.

Sampai pada saatnya Pemerintahan Presiden Soeharto lengser tahun 1998, Indonesia berpeluang mendapatkan kesempatan merubah tatanan di segala bidang atau reformasi dalam dunia pemerintahan.

Pergantian Presiden Soeharto oleh Presiden BJ. Habibi, menghadirkan suasana baru pertelevisian Indonesia terutama saat terbit Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers.

Televisi masuk dalam kategori media massa yang kebijakan tayangnnya tercover oleh UU 40 tahun 1999 itu. Sontak bermunculan semangat para peminat pertelevisian dalam negeri berebut membuat stasiun televisi. Jumlah stasiun itu bertambah seiring waktu hingga saat ini.

Pendidikan

Kehadiran siaran-siaran televisi bersama penerapan perubahan kebijakan pasca orde baru, memunculkan fungsi-fungsi baru TV sebagai saluran pendidikan.

Televisi dalam berbagai pengertian, merupakan teknologi yang menyajikan informasi secara cepat kepada masyarakat. Kotak ajaib ini pun jadi alat penangkap siaran dan gambar pendidikan, penerangan, serta hiburan.

Tujuan serta fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya seperti surat kabar, dan radio siaran yaitu memberikan informasi kepada pengguna televisi, mendidik atau memberikan tayangan yang beredukasi, menghibur dengan program acara yang menarik perhatian pengguna televisi serta membujuk atau acara yang bertujuan mengajak penonton untuk dapat merasakan apa yang ditayangkan dari media televisi. (Ardianto, dkk, 2009: 137).

Awal ide televisi sebagai media pendidikan, sebetulnya sudah dimulai dengan mengudaranya TVRI dan menyusul TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Namun sayang, slogan pendidikan dalam tayangan TPI lama-lama tergerus oleh suatu keadaan dan tuntutan konsumen serta kebijakan penayangan iklan pada TV swasta.

TPI sempat dijagokan memberi pencerahan dunia pendidikan. Kini namanya hilang bersama dengan proses akuisisi stasiun TV itu oleh MNC Grup. Bahkan nama TPI juga sudah benar-benar dinyatakan dihapus.

Karena posisi vitalnya televisi dalam penyaluran berbagai informasi atau pres dan didalamnya juga terkait info pendidikan, UU 40 Tahun 1999 pada salah satu pasalnya memunculkan kalimat bahwa pres mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial (UU 40 tahun 1999 Pasal 2).

Namun tidak terdapat penjelasan lanjutan, seperti apa maksud pendidikan dalam pemahaman fungsi pers itu. Cakupan pengertian pendidikan dinilai sangat luas sehingga bunyi pasal masih menimbulkan banyak pengertian berbeda oleh berbagai kalangan.

Jika saja pemahaman pendidikannya itu parsial, khusus mengarah kepada dunia media massa saja mungkin kita bisa cepat paham. Tetapi jika diartikan umum, tentunya kita harus lebih banyak menggali lagi pengertian-pengertian pendidikan dari referensi-referensi yang berkembang.

Pendidikan itu menyisir individu-individu agar keberadaanya terhindar dari kebodohan. Upaya menghindarkan seseorang dari keadaan bodoh, maka dilakukanlah usaha mendidik.

Ki Hajar Dewantara memperkuat makna mendidik sebagai suatu cara menuntun segala kekuatan kodrat pada anak. Bersama kekuatan kodrat yang terbimbing itu -saat manusia berada sebagai anggota masyarakat- dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Jika benar pendidikan dan jalan mendidik yang dikemas media massa atau televisi mengarah ke sudut pandang itu, sudah dipastikan masyarakat Indonesia hidup dalam derajat kemakmuran yang tinggi.

Dalam menerjemahkan TV kaitannya dengan pendidikan, pemerintah secara resmi meluncurkan TVE (disingkat dari Televisi Edukasi).

Harapan peluncuran TVE yaitu untuk menyebarkan informasi di bidang pendidikan dan berfungsi sebagai media pembelajaran masyarakat.

Tepat tanggal 12 Oktober 2004, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) pada saat itu, Abdul MalikFadjar, meresmikan TVE di Jakarta, simbolis penandatanganan batu prasasti sebagai tanda TVE mulai resmi mengudara. TV milik Kemendiknas Indonesia ini, siaran direlai oleh TVRI.

Sejalan dengan tujuan Mendiknas, TVE diharapkan mampu memberikan layanan siaran pendidikan berkualitas untuk menunjang tujuan pendidikan nasional terutama untuk sasaran peserta didik dari semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, praktisi pendidikan, dan masyarakat.

Euforia Kebebasan Pres

Kenyataan pemberlakukan UU Pokok Pers pada 1999 , berbuah sebuah realitas lain. Masa reformasi, membawa dunia pertelevisian Indonesia kepada eforia. Maraknya tayangan TV dari berbagai siaran stasiun yang ada, menimbulkan masalah sosial baru.

Anak-anak, beberapa diantaranya menjadi korban tindak kekerasan pasca menonton tayangan TV dengan konten tarung bebas semacam Smack Down. Korban luka-luka bahkan meninggal akibat sikap kekerasan bermunculan dalam permainan yang mereka tiru dari TV.

Iklan menyerbu ruang-ruang tonton masyarakat. Mana sajian untuk orang dewasa dan tayangan untuk anak-anak, bercampur baur dan membingungkan. Beberapa waktu berikutnya, tayangan iklan dilakukan penertiban terutama menyangkut isi tayangan dan jam siarnya.

TV hadir sepanjang hari, 24 jam per hari dalam seminggu. Pilihan program berjubel dalam jumlah banyak. Orang bebas memilih kapan waktu dan tempat menonton TV.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengatur ulang sistem perteleviasian Indonesia khusunya dalam hal siaran dengan merujuk kepada aturan normatif Penyiaran. Secara lengkap aturan normatif itu disebut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Sesuai namanya, Undang-undang ini mengatur hal-hal mengenai prinsip-prinsip penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Bagian-bagian mencakup didalamnya meliputi asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran nasional.

Lalu dalam UU ini juga mengatur tentang ketentuan Komisi Penyiaran Indonesia, jasa penyiaran, Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Berlangganan, Lembaga Penyiaran Komunitas, Lembaga Penyiaran Asing, stasiun penyiaran dan jangkauan siaran, sistem siaran berjaringan (baik televisi maupun radio) serta perizinan dan kegiatan siaran.

Penemuan baru kecanggihan alat-alat komunikasi berbasis teknologi informasi, membuat TV mampu tersaji dalam berbagai versi. Pesawat TV, kini bukan menjadi satu-satunya perangkat menerima siaran program.

Pekerjaan Komisi Penyiaran (KPI) dalam pertelevisian Indonesia menemui babak baru sampai pada munculnya penetapan aturan penayangan TV digital. Penerapan kebijakan oleh pemerintah menghapus tayangan televisi analog bertahap, menyuguhkan wajah pertelevisian Indonesia yang semakin modern.

Apakah sampai pada tahap ini televisi hadir bersama dengan muatan pendidikan yang memadai bagi masyarakat?

Pertanyaan ini saya ajukan karena UU Penyiaran Pasal 4 (1) secara jelas mengatur bagaimana penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. (2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.

Pada penjelasan pasal ini terutama ayat (2) terdapat pernyataan bahwa mata acara siaran yang berasal dari luar negeri diutamakan berkaitan dengan agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, budaya, olahraga, serta hiburan.

Secara aturan, keberpihakan UU Penyiaran pada praktik kepenyiarannya termasuk televisi sudah cukup jelas kepada hal pendidikan. Asas penyiaran menopang kuat kepada upaya integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia

 TV Digital

Berharap kepada terciptanya kualitas penyiaran yang baik bagi Indonesia ke depan, pemerintah mematikan siaran TV analog dan berganti menjadi TV Digital.

Kemajuan teknologi informasi menuntut perubahan kepada perkembangan-perkembangan baru yang lebih fleksibel dan berdaya saing tinggi serta tingkat percepatan yang maksimal.

Dalam keputusannya, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI secara bertahap menghentikan siaran TV Analog sejak 2 November 2022 pukul 24.00. Kabupaten dan kota di Indonesia akan melakukan Analog Switch Off (ASO).

Pemerintah belum sepenuhnya melakukan ASO pada 514 kabupaten dan kota karena alasan distribusi set-top-box (STB) atau alat untuk mengonversi sinyal digital menjadi gambar dan suara agar dapat ditampilkan di TV analog belum tuntas.

Kabupaten dan kota yang menjadi prioritas ASO baru di seputaran Jabodetabek saja. Kewajiban menyediakan dan distribusi STB antara pemerintah dan TV Swasta yaitu, Kominfo bertugas menyiapkan 76 persen STB, sementara TV swasta menyediakan 24 persen dan menyisir sedikitnya 479.000 rumah tangga miskin di Jabotabek itu.

Kapan daerah lain menerima fasilitas STB yang ama seperti Jabodetabek? Hingga saat ini belum ada informasi resmi lanjutan mengenai distrubusi STB pada sisa kabupaten dan kota lainnya.

Sedikit uraian di atas menunjukan, bahwa pemerintah secara serius ingin mengubah wajah pertelevisian Indonesia untuk terciptanya harapan-harapan baru dunia komunikasi modern di dalam negeri.

Selain itu, kita juga berharap banyak TV digital menghadirkan porsi pendidikan yang lebih memadai. Tayangan-tayangan dalam TV digital memang belum sepenuhnya berubah seperti dalam siaran yang tertangkap TV analog alasan utama, sebab penyedian jasa tayangan TV digital masih sama dengan stasiun penyiaran terdahulu.

Berharap porsi tayangan pendidikan lebih meningkat dalam siaran TV digital tiada lain karena generasi kita sangat membutuhkan kualitas tayangan untuk jadi bekal hidupnya kelak.

Masih ada timbul rasa riskan mengandalkan daya kemajuan pendidikan masyarakat kepada hadirnya siaran TV digital. Pasalnya, Aliansi Jurnalisme Independen (AJI), masih mencatat bahwa kepemilik stasiun TV swasta di Indonesia hingga hari ini masih didominasi perseorangan atau grup yang memiliki kepentingan tertentu dalam dinamika kehidupan rakyat, khususnya bidang politik.

Tidak bisa dipungkiri jika persentase tayangan mereka lebih banyak menampilkan target capaian atas saran kekuasaan. Akibatnya, televisi menjadi sangat subjektif dan berpontensi melakukan penggiringan kepada kepentingan tertentu.

Pendidikan yang diharapkan tampil lebih berkualitas dengan adanya TV digital masih perlu terus diupayakan.

Semangat baru pertelivisian Indonesia dengan hadirnya layanan siaran TV Digital, semoga menambah semarak dunia informasi modern dan pendidikan yang lebih berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun