Mohon tunggu...
Teguh Ari Prianto
Teguh Ari Prianto Mohon Tunggu... Penulis - -

Kabar Terbaru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mempertahankan Tradisi Lisan, Perlukah?

19 September 2022   09:38 Diperbarui: 19 September 2022   10:43 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyelenggaraan lomba "Tradisi Lisan" oleh Dinas Arsip dan Kebudayaan Kota Bandung (16/09/2022), menjadi upaya menjaga eksistensi tradisi. Photo: Riyanto

Tangan-tangan dingin pujangga mencipta karya sastra, legenda, mythos, syair, foklor hingga pesan suatu cerita rakyat lainnya. Karya-karya disampaikan dalam bentuk dongeng, ucapan, nyanyian, atau lagu.

Kehadiran pujangga dalam tradisi lisan, sifatnya timbul tenggelam karena alasan cara penyampaian karyanya melalui proses dari mulut ke mulut itu tadi.

Bisa pula nama besar sang pujangga tersamarkan dalam perkembangan tradisi itu sendiri.

Sebuah karya tradisi lisan kadang mudah kita peroleh, tetapi tidak tahu siapa pemilik karya sesungguhnya.

Hal demikian, bisa benar adanya apabila kita mengutip kembali suatu gambaran proses berkreasi dalam tradisi lisan, seperti disampaikan oleh Husin Al Banjari dalam Desertasi "Budak Angon", saat menjalani proses memperoleh gelar Doktoralnya di Kampus Universitas Paddjajaran beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa karya besar pujangga besar Sunda lahir dan berkembang dimasyarakat dan diantaranya karya itu "ditatah dinu elak-elakan anak incu" (dipahatkan pada rongga suara anak cucu). 

Hal seperti dilakukan Prabu Surawisesa (Raja Pajajaran) saat membuat syair "Cing Cangkeling" pada sekitar abad XIV.

Dalam pernyataan itu, "karya yang dipahatkan" memiliki makna bahwa karya itu abadi dan akan sangat mudah dilantunkan oleh anak cucu sejak karya itu diciptakan hingga kapan pun.

Tradisi lisan karya para pujangga pun ada yang tercipta dan berkembang pada masa-masa pemberlakuan aksara-aksara kuno di Nusantara, misalnya jaman aksara Sunda Kuno maupun Jawa.

Aksara Sunda Kuno atau Jawa, saat diberlakukan antara abad XIV sampai dengan abad XVIII, merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan sabda-sabda raja atau penguasa lainnya.

Penggunaan aksara, terutama untuk dituliskan, hanya berkembang dikalangan khusus kerajaan. Raja hanya menunjuk orang-orang pilihan dalam menuliskan aksara yaitu dengan ditugasinya Manguri (pembaca/penulis aksara pada bahan lunak) dan Citraleka (pembuat prasasti atau tulisan besar dalam benda keras).

Diluar kedua petugas kerajaan itu tadi, rakyat dan seisi negeri lainnya sangat dilarang menuliskan aksara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun