Mohon tunggu...
SYAMSUL BAHRI
SYAMSUL BAHRI Mohon Tunggu... Administrasi - Conservationist

Pensiunan PNS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Dinasti Ditinjau dari Aspek Etika

13 Maret 2020   06:08 Diperbarui: 13 Maret 2020   06:16 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Pola demokrasi berbungkus Pola kerajaan)

Oleh SYAMSUL BAHRI,SE

Demokrasi Pilkada sejatinya adalah sistem yang menjamin setiap orang dalam konteks hak berpolitik, memiliki hak dasar untuk memilih dan dipilih. Karena itu, dalam demokrasi, sistem kepemimpinan diharapkan berjalan dinamis dimana hanya mereka yang mampu merebut hati rakyat lewat rencana program-programnya lah yang akan terpilihm melalui penyampaian visi dan misi.

Namun sering kali system yang sudah terbentuk ini dalam implementasinya tidak bisa berjalan dengan baik dan ideal. Dan kita sudah banyak memantau dalam banyak kasus di Perpolitikan kita sistem kepemimpinan dikuasai oleh dinasti tertentu yang memiliki sumberdaya politik, sumberdaya uang dan juga sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya politik dan lainnya, yang menyebabkan system tidak lagi menjadi system yang baik dan sehat.

Sehingga Dinasty politik yang didefenisikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga (Wikipedia). Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga, swalaupun secara hokum bukan merupakan sebuah pelanggaran.

Namun secara hukum legal aspek, politik  Dinasti memang bukan merupakan politik yang melanggar hukum atau ketentuan dan syah-syah saja dalam negara demokrasi seperti Negara Demokrai di Indonesia, hal ini secara hukum telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) saat menghapus pasal 'dinasti politik' dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Dalam Pasal 7 huruf r disebutkan: Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Pada kalimat tersebut ada penggalan kata "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" yang dimaksud disini adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.

Pasal ini dihapus oleh Mahkamah Konstitusi karena pemaknaan dinasti politik itu hanya mempertimbangan aspek HAM dan aspek yuridis yang bertentangan dengan dengan konstitusi dan UUD 1945, namun tidak mempertimbang dampak dan konsekwensi dari perbolehan Politik Dinasti ini berjalan bagi keutuhan sebuah tujuan demokrasi untuk mewjudkan keadilan social bagi seluruh Indonesia, yang menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana (incumbent) memiliki berbagai keuntungan. Namun, pembatasan demikian haruslah ditujukan kepada kepala daerah petahana itu, bukan kepada keluarganya, kerabatnya, atau kelompok-kelompok tertentu tersebut," putus MK dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Juli 2015.

Sehingga dengan jelas dalam putusan itu, MK secara tegas mempertimbangkan hak konstitusional warga untuk memilih dan dipilih (right to be vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional.

Dengan adanya putusan MK maka sejarah politik dinasti akan terulang karena belum bisa dipangkas dengan baik, karena pasal yang dibatalkan MK bisa memotong rantai politik dinasti di daerah.

Politik Dinasti dari aspek etika, maka Politik Dinasti sangat tidak baik, karena akan terjadi tingkat kerawanan politik baik pra pilkada maupun pasca pilkada dan dalam kekuasaan, karena kecenderungan memang kebijakan dinasti ini menyuburkan salah satunya adalah KKN (Koncoisme, korupsi dan Nepptisme), dan kecenderungan pra pilkada akan menggunakan semua fasilitas kekuasaan untuk mendapatkan kemenangan dalam suatu proses pilakada, termasuk infrastruktur Politik itu sendiri, begitu juga pasca pilkada akan lebih parah lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun