Mohon tunggu...
Tedi nugroho
Tedi nugroho Mohon Tunggu... Novelis - Tedi Nugroho

pengubah kopi menjadi tulisan berarti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] 1/3 180

22 Oktober 2018   18:11 Diperbarui: 22 Oktober 2018   18:52 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hening dalam kejolakan jiwa disepertiga malam. Hanya suara semilirnya angin yang menemani tulang hingga beku. Suara hewan penghiasan malam sudah sampai pada pulasnya menikmati sepertiga malam. Disudut kamar berdekatan dengan jendelan dengan fentilasi tipis tetap bisa diterobos oleh angin. Ayam berkokok dimana mitos menceritakan ada malaikat turun. Diwaktu yang tepat ini, doa sangat mujarab untuk diterima tapi aku tidak peduli, hanya dudukku termenung bersila. Sarung yang aku tidak tahu kapan digunakan adalah sarung paling suci yang pernah ku gunakan. Dalam lipatan tanganku, aku memegang yang dulu sudah lama tak pernah kupegang. Al-Quran yang pernah ku duakan dengan berbagai macam buku kini ku pegang penuh rasa sayang dan hormat ditemani dengan tetasan air mata yang membasahi huruf hijaiyah. Aku tak pernah merasakan ini sebelumnya. Bayang-bayang masa kelam terus melintasi setiap benak.

Dalam keharmonisan hidup aku selalu tercukupi, aku merasa bagaikan Firaun. Seluruh hidupku terasa begitu bebas, aku bahkan tak begitu mengenal etika terhadap apapun itu.  Orang tuaku selalu mengarahkanku pada materi, Kulitku yang kuning langsat dengan paras wajah jawa blasteran batak membuat aku merasa nyaman memiliki rupa sedemikian sempurnanya. Dirumah yang begitu besar ini aku hanya sendiri dalam keramaian isi. Tak jarang aku memperlakukan simbok atau pembantu rumah tanggaku layaknya budak pada jaman Jahiliyah. Mungkin tidak bisa dihitung dengan jari, dan yang paling parah bagiku mengantarnya menuju maut.

Saat itu simbok sedang menderita sakit dalam. Dia begitu pucat, terlihat sangat sakit dan mungkin sering kali menahan sakitnya. Tubuh simbok yang cukup pendek, kuning langsat dan dan sudah banyak keriputan pada wajahnya menandakan dia sudah berumur, Aku tak memandang itu sebagai alasan. Begitu banyak kejadian tak berperikemanusiaan yang ku lakukan dan saat terjahat itu adalah ketika aku dengan Putri teman kuliahku sedang duduk di shofa berdua. Kita memang bukan pacar apalagi istri, kita adalah teman dekat tapi kedekatan yang memang dekat belum lama. Dia begitu menggoda, senyum gingsul yang membuatku tak kuasa melihat senyumnya, dia memiliki tubuh yang ideal dengan kelebihat muatan didepan sungguh sangat menggoda. Aku pun tak ingin menyiakan kunjungan dia kerumahku. Selagi ortu sedang keluar kota. Orang tuaku adalah seorang pebisnis tajir dan sangat jarang singgah di rumah tapi bagiku yang paling penting adalah jatah kiriman tiap bulan harus lancar. Perbincangan dengan novi berlanjut begitu hangat, entah kenapa mata ini dalam satu garis lurus hingga membuat bibir ini saling mendekat dan saling menyentuh, hingga dilanjutkan tangan ini mulai menguasai benteng-benteng terpenting. Kancing bajunya mulai perlahan aku tarik akan tetapi...

" Maaf mas......" simbok datang secara tiba-tiba tanpa punya dosa.

"Ngapain kamu kesini, anjing... gak ngerti orang lagi ngapa?" mataku mulai memerah, nafsu ini berubah menjadi amarah.

"Saya tahu mas tapi..." simbok berbicara tersendak-sendak karena air matanya mulai bercucuran

"Saya mau izin pulang mas, saya sudah tidak kuat dengan sakit saya, anak saya sudah sampai di Jakarta."

"Aku pulang dulu." Novi meyahut dengan penuh wajah jutek

"Tapi nov.. tunggu bentar," aku pun megejar novi

Novi pun pergi begitu saja, tidak ingin mendengar kata apapun dariku. Kaki-kaki ini melangkah mencari simbok. Ketika simbok mencoba meminum segelas teh, tanpa basa-basi kutampar gelas itu hingga pecah. Simbok dalam raut wajah yang sakit dan begitu takutnya.

"Taik lu, anjing... lu tau ngak,, lu bisa liat waktu gak, itu baru nanggung goblok," raut wajahku  begitu seperti setan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun