"Iya pa bentar," mama menjawab dengan segera.
Air mata mama tak terbendung lagi, derasan air mata itu turun membasahi semua pipi. Rasa tak bersalah itu sungguh ada pada papa. Aku yang mulai tak sadarkan diri oleh amarah datang mengahampiri papa.
"Pafffff....." satu pukulan kencang meluncur kewajah papa.
"Sudah......hentikan nak," sedakan tangis mama meleraiku.
Aku dan mama meninggalkan papa sendiri dalam kesenangannya, aku tidak mau melihat mama sedih. Dirumah yang jauh dari hingar bingar keramaian, ditempat neneklah kami beristirahat. Untuk beberapa hari kami bisa tenang hingga sampai mama sering sakit-sakitan. Dan aku pun langsung membawanya kerumah sakit. Tubuh mama begitu dingin, aku pun begitu merasa takut. Setiap ku lihat surya wajahnya yang sudah memudar menuntun bayang-bayang ini keantah berantah. Dalam kamar hanya ada aku dan mama. Semua dalam ruangan serba putih. Kamar ini tiba-tiba begitu hening. Tak ada angin ataupun kicauan burung. Suara kaki menerpapun tak terdengar. Dalam tangisannya mama seperti berwangsit kepadaku.
"Jika mama tidak ada, kamu harus tetap tegar. Jalanmu masih panjang", Mama berkata ditemani tetesan air mata yang mengalir satu per satu.
"Aku tidak bisa ma, mama jangan bilang begitu. Mama pasti sembuh," sedakku dalam tangis yang tak kuasa ku menahannya.
"Kamu sudah belajar dari semua ini, mama bukanlah contoh yang baik untukmu, kejadian inilah yang menjadi pengalamanmu untuk hidup lebih bermanfaat"
Dan tak lama dari itu mama menghembuskan nafas terakhirnya. Meninggalkanku sendiri. Teriakanku keluar sekencang-kencangnya.
"Mama......."
"Jangan pergi mama...."