Paham radikal judol ini melahirkan tindakan-tindakan ekstrem di tengah masyarakat. Pertama adalah pembunuhan dan bunuh diri. Laporan polisi mencatat sejumlah kasus ekstrem akibat tekanan ekonomi menjadi aksi radikal penghilangan nyawa manusia. Kedua ialah kekerasan dalam rumah Tangga (KDRT). Kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat dipicu oleh utang dan kecanduan judi online yang dilakukan suami istri ataupun anak. Pada akhirnya perceraian menjadi opsi akhir kemelut rumah tangga.
Ketiga, penggelapan dan penipuan. Sejumlah pegawai dan pejabat publik menggelapkan uang kantor demi membayar kekalahan judol. Sehingga praktek korupsi sebagai solusi pemenuhan biologis judi. Terakhir adalah pencucian uang. PPATK mengungkap ratusan ribu transaksi mencurigakan yang mengindikasikan adanya jaringan pencucian uang lintas negara melalui situs-situs judi online.
Larangan dan Pemberantasan Judol
Dalam hukum positif di Indonesia, judol dilarang. Pasal 303 KUHP menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi diancam dengan pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda hingga Rp.25 juta. Kemudian, pasal 27 ayat (2) Undang-Undang ITE Nomor 11 tahun 2008 juga menegaskan larangan penyebaran konten bermuatan perjudian di media elektronik.
Dalam hukum Islam, sejak kecil kita diajarkan bahwa judi adalah dosa besar. Judi dikenal dengan istilah maysir atau qimar, dan secara tegas dilarang dalam Al-Qur'an. Dalam Al Qur'an, surah Al Maidah ayat 90 disebutkan "Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung."
Kemudian, "Setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (minum) khamar dan berjudi itu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan shalat." (QS. Al-Midah: 91). Islam menegaskan bahwa judi bukan hanya merusak moral dan akhlak, tetapi juga menghancurkan tatanan ekonomi dan sosial masyarakat.
Berdasarkan laporan resmi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) hingga April 2025, pemerintah telah memblokir lebih dari 1,3 juta konten judi online, termasuk situs, akun media sosial, dan aplikasi. Secara akumulatif, sejak 2023 jumlah total konten yang sudah diblokir mencapai lebih dari 2,6 juta unit. Namun, masih banyak situs dan aplikasi baru yang terus bermunculan dengan sistem mirror domain, sehingga penindakan tidak bisa berhenti.
Mindset Money Oriented
Mindset pragmatis mendorong seseorang untuk ambil jalan pintas. Realita kehidupan yang dijalani tidak luput dari uang. Sehingga uang menjadi syarat mutlak berkehidupan yang dinilai wajib terpenuhi. Tanpa tedheng aling-aling, halal haram dilabrak yang penting ada uang. Apa-apa harus dengan uang, mau makan harus ada uang, mau sakit harus ada uang, mau kerja harus ada uang, mau jabatan harus ada uang.
Money oriented menyebabkan banyak orang salah kaprah. Judol dianggap media untuk melipat gandakan uang. Hasil fantastis yang diterima dalam praktek judol disiarkan. Sebagai manifestasi untuk menarik dana yang lebih dari player judol. PPATK menaksir jumlah player judol pada pertengahan tahun 2025 saja mencapai 3,1 juta orang.
Darurat judol seharusnya menjadi program lex specialis dari pemerintah. Sudah nyata akibat judol merupakan suatu paham radikal yang perlu diberantas. Seperti dibentuknya Anti Teror Densus 88 sebagai pengejawantahan dari aksi dan paham terorisme di Indonesia. Perlu political will pemerintah membentuk Anti Judol Densus 303 untuk memberantas praktek dan paham radikalisme judol di Indonesia. Ya... jika masih banyak yang diuntungkan, razia sekali-kali barangkali cukup untuk meredam situasi. ***