Mohon tunggu...
Tawakkul Shabru
Tawakkul Shabru Mohon Tunggu... Profesional -

Dear Kompasianers, mari bersama wujudkan Indonesia lebih maju! –Exemplary Reader Award, 1993. –West Sumatera Indonesia Tourism Ambassador, 2003.–The originator of Asosiasi Duta Wisata Indonesia (ADWINDO). –Founder of Salam Perikanan and Komunitas Cinta Lingkungan. –Italian Government Scholarships Award, 2007.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Inilah Sebabnya Mengapa Kami Malas Berjalan Kaki di Indonesia

14 Juli 2017   22:16 Diperbarui: 15 Juli 2017   18:49 3852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pedagang kaki lima yang sempat berjualan di tempat relokasi Pasar Cipinang Besar Selatan kembali berjualan di trotoar Jalan Basuki Rahmat, Jakarta Timur, Senin (24/2/2014). Pedagang mengaku merugi karena lapak mereka di pasar itu sepi pembeli.(KOMPAS.com/ROBERTUS BELARMINUS)

Butuh waktu yang panjang dan upaya yang besar jika ingin menanamkan kebiasaan berjalan kaki pada segala lapisan masyarakat di negara kita. Slogan "Gaungkan Gerakan Nasional Berjalan Kaki ke Kantor, Kampus dan Sekolah" saya kira di Indonesia hanya akan menjadi sebatas wacana untuk saat ini dan beberapa dekade ke depan.

Mengapa demikian?

Pertama, adanya stigma yang muncul karena prinsip hedonisme yang mengakar di masyarakat. Di Indonesia, pejalan kaki masih (merasa) dan dipandang orang lain "kere", tidak punya uang. Sering terdengar, "Wah.. tadi jalan kaki ke sini? Duh, kasihan. Beli motor, dong?" atau "Makanya, beli mobil dong?" atau "Duh kasihan.... kenapa tadi ga naik taksi aja?".

Kedua, faktor lingkungan. Negara kita beriklim tropis sehingga berjalan kaki kemana-mana di hari yang panas dan terik bukanlah ide yang menyenangkan.

Ketiga, perencanaan pembangunan sarana dan prasarana jalan raya di negeri ini kurang memerhatikan kebutuhan pejalan kaki, tetapi lebih ditujukan pada kenyamanan dan kepentingan pengguna kendaraan bermotor. Trotoar memang dibangun, tapi tidak sepenuhnya nyaman dipakai berjalan kaki. Trotoarnya kekecilan dan harus berhati-hati karena bisa tersandung atau bisa-bisa terperosok masuk lubang. Kalau hujan turun, bahu jalan dekat trotoar dipenuhi genangan air. Jika ada kendaraan yang lewat, pejalan kaki basah kuyup terciprat air comberan. Hal ini sering terjadi, bukan?

Aksi penyandang disabilitas khusus tuna netra(KOMPAS.com/SRI LESTARI)
Aksi penyandang disabilitas khusus tuna netra(KOMPAS.com/SRI LESTARI)
Sekarang coba kita lihat kondisi pejalan kaki di negara tetangga, Malaysia dan Singapura: kasusnya sedikit berbeda. Berjalan kaki di sana memang jauh lebih nyaman. Trotoar di negara mereka lebar-lebar bahkan pejalan kaki dimanjakan. Trotoarnya ada yang dipasangi atap, supaya pejalan kaki tidak kena cipratan hujan atau panas matahari yang berlebihan. Di dekat trotoar juga sengaja dipasangi kipas angin yang mengembuskan hawa sejuk pada para pejalan kaki di siang hari yang terik.

Namun walau sudah begitu nyaman jika dibandingkan kondisi di negara kita, ternyata berjalan kaki di Malaysia dan Singapura belumlah menjadi kebiasaan warganya. Mengapa? Pertama, stigma yang muncul karena prinsip hedonisme juga terjadi di masyarakat mereka. Kedua, negara tetangga kita ini juga beriklim tropis sehingga berjalan kaki kemana-mana di cuaca yang panas dan terik tetap saja bukan ide yang menyenangkan.

Jadi bagaimana?

Jika kita merujuk pada bidang ilmu Genetika Tingkah Laku, terungkaplah sedikit penjelasan tentang hal ini. Dikatakan bahwa perilaku manusia atau bangsa sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan. Artinya, "Gemar berjalan kaki itu memang sudah sifat bawaan dari nenek moyangnya." Karena itulah ada orang yang lebih senang berjalan kaki walaupun lingkungan cuaca panas terik dan ada pula orang yang tidak. Perilaku manusia juga dipengaruhi oleh lingkungan di mana dia berada. Realitasnya, orang Indonesia yang berada di Inggris akan jauh lebih tertib saat menyeberang jalan dibandingkan orang Indonesia di negaranya sendiri.

Namun masih sulit untuk menyatakan apakah kebiasaan berjalan kaki seseorang atau kebiasaan berjalan kaki suatu bangsa itu lebih ditentukan oleh faktor keturunan atau oleh faktor lingkungan? Mana yang lebih berperan? Para ahli genetika tingkah laku menyimpulkan bahwa kebiasaan berjalan kaki pada sebagian orang atau bangsa ditentukan oleh hubungan yang rumit antara kedua faktor, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.

Sekarang, Peneliti di Universitas Stanford, AS, sampai pada kesimpulan bahwa orang Indonesia paling malas berjalan kaki. Menurut Anda bagaimana? Apakah ini karena bangsa Indonesia berasal dari keturunan nenek moyang yang malas berjalan kaki? atau disebabkan cuaca yang tropis dan sarana dan prasarana lalu lintas di Indonesia yang belum ramah pejalan kaki? Butuh waktu yang panjang, perubahan yang besar dan upaya yang bersungguh-sungguh jika ingin menanamkan kebiasaan berjalan kaki pada segala lapisan masyarakat di negara kita tercinta ini.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun