Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Setahun Rezim Makan Siang Gratis, Stunting Hanya Tertawa Lihat Kebijakan yang Receh

16 Oktober 2025   08:17 Diperbarui: 15 Oktober 2025   14:21 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka (Sumber: bukitraya-tenggarongseberang.id)

"Setahun rezim Prabowo-Gibran berjalan, tapi kenapa fokus kebijakan raksasa MBG yang justru mengabaikan mindset dan sanitasi sebagai akar masalah gizi?"

Kita sudah sampai di persimpangan. Setahun sudah sejak tongkat komando pemerintahan resmi berpindah tangan, dan kita sebagai warga negara yang selalu kepo tentu saja menghitung-hitung hasil panen kebijakan. Di tengah janji-janji transformasi dan lompatan kemajuan, lha kok ya program paling nyaring yang kita dengar dan paling menguras kas negara tetaplah Makan Bergizi Gratis (MBG). Program gede yang sejak mula kampanye sudah bikin dahi mengernyit.

Program ini bukan hanya soal urusan logistik dan anggaran triliunan. Ini adalah cerminan visi. Ketika pemerintah baru, dengan segala power dan kesempatan mengubah sejarah, memilih intervensi fisik yang populis alih-alih intervensi struktural yang fundamental. Kita patut curiga, jangan-jangan, mereka belum paham betul akar masalah bangsa ini.

Masalah stunting, yang diklaim akan diberantas habis-habisan oleh program raksasa ini, bukanlah sekadar urusan perut kosong. Stunting itu, nggak melulu tentang ketiadaan makanan, tapi tentang ketiadaan ilmu, mindset, dan sanitasi yang layak di dapur rumah tangga. Program MBG yang kini digeser sasarannya ke anak sekolah itu ibarat memberikan pemadam api untuk rumah yang sudah jadi abu. Itu terlambat. Dan yang lebih parah, itu salah tempat.

Baca juga: Mengapa Makan Bergizi Gratis Tidak Cukup untuk Cerdaskan Anak?

Izinkan saya ngegas sedikit, kenapa kebijakan yang didorong mati-matian di tahun pertama kekuasaan ini adalah solusi paling receh untuk masalah sekompleks stunting.

Mengapa Program MBG Sejak Awal Berbau Gagal Konsep?

Mari kita bedah kembali ilmu dasarnya. Stunting adalah kondisi gagal tumbuh yang terbentuk selama periode krusial 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK), yaitu dari masa kehamilan hingga anak berusia dua tahun. Kalau kekurangan gizi terjadi di masa ini, kerusakan fisiknya permanen, dan yang paling menakutkan, kerusakan kognitifnya irreversible.

Sekarang, kita melihat MBG menargetkan anak sekolah, yang rata-rata usianya sudah di atas lima tahun. Ini adalah intervensi yang offside parah. Kita menyalurkan triliunan dana untuk memberi makanan tambahan pada anak yang jendela emas pertumbuhannya sudah tertutup. Kita cuma menyediakan palliative care (perawatan untuk meringankan gejala) bukan curative care (perawatan untuk menyembuhkan).

Alih-alih menyasar ibu hamil dan balita, program ini sibuk mengurusi bekal anak SD—bahkan sampai anak SMA. Lha memangnya anak usia 7 tahun bisa kita balikin lagi jadi 1 tahun supaya bisa optimal menyerap nutrisi untuk pertumbuhan otaknya? Kan nggak. Fokus pada anak sekolah sebagai program flagship penanggulangan stunting di tahun pertama pemerintahan ini menunjukkan dua hal:

Pertama, gimmick politik lebih diutamakan daripada efektivitas kesehatan.

Kedua, ada kegagalan total dalam memahami urgensi 1000 HPK. Anggaran yang seharusnya memastikan setiap ibu hamil mendapat support gizi dan setiap balita punya sanitasi layak, malah dihabiskan untuk urusan bekal sekolah. Sungguh ironis.

Bukti Lapangan: Stunting Itu Masalah Dompet dan Pola Pikir, Anak Sultan pun Bisa Kekurangan Gizi

Kalau kita masih keukeuh percaya bahwa stunting itu problem utamanya adalah akses pangan atau kemiskinan, berarti kita perlu ngopi bareng sambil mantengin data lapangan.

Dikutip dari Jurnal Inovasi Sektor Publik Universitas Wijaya Putra, ditemukan fakta bahwa stunting itu tetap terjadi pada keluarga yang memiliki status ekonomi baik dan berpendapatan tinggi. Keluarga-keluarga ini punya daya beli untuk protein hewani, susu mahal, dan makanan bergizi apa pun yang direkomendasikan dokter. Tapi kenapa anaknya stunting?

Jawabannya bukan lagi di dompet, melainkan di otak—tepatnya, mindset dan pola asuh. Ada ibu yang mampu beli telur dan ikan, tapi memilih membelikan anaknya makanan instan kemasan karena lebih praktis, atau bahkan karena percaya mitos gizi yang salah. Dengan demikian, problemnya bukan lagi soal ketersediaan supply, melainkan soal demand dan utilisation. Akses ekonomi tersedia, tapi akses ilmu dan kesadaran hidup sehat yang tiada.

Jurnal Unnes dan Ketersediaan Pangan yang Nggak Relevan

Biar lebih menusuk lagi, mari kita lihat data yang lebih rinci mengenai akses. Stunting itu bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga masalah pengetahuan yang melahirkan perilaku.

Baca juga: Ikan Hiu di Menu MBG, Bukti Bahwa Nggak Semua Program Pemerintah Itu Waras

Dilansir dari Jurnal Indonesian Journal of Public Health and Nutrition oleh UNNES, penelitian yang membedah korelasi antara stunting dengan akses pangan menunjukkan bahwa akses fisik pangan (ketersediaan makanan di lingkungan sekitar) justru nggak berhubungan secara signifikan dengan stunting. Sementara itu, Pola Asuh Gizi (kebiasaan ibu dalam memberikan makanan dan pengasuhan) punya korelasi yang sangat kuat.

Coba kita pikirkan, kalau masalahnya cuma ketersediaan makanan, cukup buka warung banyak-banyak. Tapi nyatanya nggak semudah itu, Ferguso. Makanan itu ada, tapi ibu nggak tahu bahwa ikan kembung jauh lebih bergizi daripada ikan sarden kemasan. Ibu nggak tahu bagaimana mengolah sumber pangan lokal yang murah menjadi MPASI yang kaya mikronutrien. Program MBG yang hanya fokus pada supply makanan justru mengabaikan masalah fundamental pola asuh yang bersumber dari mindset ini. Kita hanya menambal lubang, padahal fondasinya sudah keropos.

Fokus Kita Bukan ke Susu Tapi ke Otak Ibu dan Lubang Jamban

Jika mindset dan pola asuh adalah akar masalah, maka intervensi kita haruslah mengubah behaviour, bukan hanya mengisi keranjang belanja.

Dikutip dari penelitian yang dipublikasikan di Portal Jurnal Malahayati, salah satu faktor risiko terkuat stunting adalah pengetahuan ibu yang kurang tentang gizi dan pola asuh. Pengetahuan yang minim ini sering bersinergi dengan faktor lingkungan.

Perlu diingat, stunting itu dwitunggal: kekurangan gizi kronis DAN infeksi berulang. Mau anak dikasih makanan paling bergizi sedunia pun, kalau ia sering diare karena lingkungannya kotor, airnya tercemar, dan buang air besar masih sembarangan, nutrisi itu akan terbuang percuma. Penyakit berulang karena sanitasi buruk adalah cerminan dari mindset hidup sehat yang gagal total di tingkat rumah tangga.

Oleh karena itu, kebijakan raksasa yang ngebet diterapkan di tahun pertama pemerintahan ini harus dipertanyakan totalitasnya. MBG hanya menyentuh gizi spesifik (makanan), tapi gagal menyentuh gizi sensitif (perilaku, sanitasi, dan mindset).

Alihkan Anggaran MBG untuk Gerakan Cuci Otak dan Jamban Sehat

Jika kita gentle mengakui kegagalan konsep MBG yang sangat amat terlambat dan nggak mengatasi akar masalah, maka sudah seharusnya anggaran triliunan itu di-redirect segera.

MBG harus dihentikan, terutama yang menyasar anak sekolah. Dana itu jauh lebih bermanfaat jika dialihkan ke program yang mengubah mindset dan perilaku ibu hamil serta keluarga Baduta.

  • Gerakan perubahan mindset: Uang itu bisa dipakai untuk melatih dan menggaji lebih layak ribuan kader Posyandu, menjadikan mereka penyuluh gizi profesional yang bertugas "mencuci otak" emak-emak secara intensif tentang MPASI berbasis protein hewani yang murah, pentingnya ASI eksklusif, dan bahaya makanan receh pabrikan.
  • Gerakan perubahan lingkungan: Dana juga wajib dialokasikan untuk pembangunan sanitasi yang layak dan kampanye hidup bersih-sehat. Ini adalah investasi jangka panjang yang akan menghentikan siklus infeksi berulang, memastikan nutrisi yang masuk ke tubuh anak benar-benar terserap.

Jika pemerintah baru benar-benar ingin dikenang sebagai rezim yang memberantas stunting, jangan hanya fokus pada gimmick di piring anak sekolah. Fokuslah pada ilmu di kepala ibu dan kebersihan di lingkungan rumah. Sebab, stunting adalah masalah kegagalan perilaku, dan perilaku hanya bisa diubah dengan mindset, bukan dengan susu kemasan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun