"Kisah tragis 'Mata Kosong' di balik setiap lahan yang terbakar, sebuah cerita tentang bagaimana hutan yang mati ikut membunuh jiwa orangutan."
Beberapa tahun lalu, dunia maya sempat geger dengan sebuah foto yang bikin banyak hati teriris. Fotonya simpel saja. Seekor orangutan, matanya menatap hampa. Kosong, tanpa ekspresi. Seolah semua harapan sudah lenyap.
Warganet memberinya julukan "Orangutan Mata Kosong" dan foto itu pun viral. Jutaan likes dan shares bertebaran, dibarengi komentar penuh keprihatinan.
Tapi ya begitu, kadang kita terlalu fokus sama gimmick visualnya, sampai lupa kalau di balik satu foto itu, ada tragedi yang jauh lebih brutal dari sekadar trending topic. Foto itu bukan cuma gambar, melainkan sebuah simbol. Simbol dari kepunahan yang nyata, penderitaan yang begitu personal, dan cerminan dari kegagalan kita sendiri.
Mata Kosong Bukan Cuma Hiasan Berita, tapi Isyarat Penderitaan
Kita sering dengar berita soal kebakaran hutan dan dampaknya ke orangutan. Tapi rasanya berita itu cuma angka saja, ribuan hektare terbakar, sekian individu terancam. Padahal, ceritanya jauh lebih pahit.
Dikutip dari laporan Orangutan.or.id, ada kisah bayi orangutan bernama Himba yang ditemukan dengan luka bakar serius di sekujur tubuhnya. Bayangkan, kulit yang mengelupas, rasa sakit yang tak terbayangkan.
Penderitaan fisik seperti itu hanya salah satu babak dari drama yang lebih panjang. Banyak orangutan yang lolos dari jilatan api, tapi justru menderita penyakit pernapasan akut akibat kabut asap tebal. Mereka sakit-sakitan, sesak napas, dan kehilangan nafsu makan.
Mata kosong itu adalah manifestasi dari semua penderitaan itu. Ekspresi yang bukan lagi soal lapar atau haus, melainkan ketakutan dan trauma yang begitu mendalam.
Kabur dari Api, Malah Ketemu Manusia yang Lebih Berbahaya
Ketika habitat mereka hangus, para orangutan tidak punya pilihan lain selain lari. Mereka turun dari pohon-pohon yang sudah jadi arang, dan mau tidak mau, masuk ke permukiman manusia.
Yang terjadi kemudian, seperti yang kita duga, adalah horor yang lain. Dilansir dari Yayasan IAR Indonesia, induk dan bayi orangutan yang lari dari kebakaran malah diserang warga yang panik atau merasa terancam.
Orangutan yang sedang kelaparan dan kebingungan ini kerap dianggap sebagai hama, padahal mereka cuma sedang mencari makan dan tempat berlindung. Mata kosong itu pun bisa jadi ekspresi dari kebingungan dan pengkhianatan. Mereka lari dari satu ancaman, hanya untuk bertemu ancaman lain yang datang dari sesama makhluk hidup.
Nafas Terakhir di Tengah Bara Api
Di antara semua kisah memilukan itu, ada satu fakta yang paling brutal dan tak bisa dibantah. Yaitu soal kematian. Dikutip dari sebuah laporan Mongabay.co.id. Pada tahun 2016, tim penyelamat menemukan tiga orangutan yang tewas hangus terbakar di hutan Kalimantan Timur.
Mereka bukan lagi "mata kosong" yang trauma atau kebingungan, tapi sudah menjadi tumpukan abu dan tulang. Ini adalah fakta kepunahan yang paling telanjang. Tidak ada lagi kesempatan untuk rehabilitasi, apalagi untuk menatap masa depan.
Kisah mereka adalah bukti bahwa "mata kosong" itu bukan cuma kiasan. Ia adalah tanda awal dari sebuah akhir yang begitu tragis.
Selama ini, solusi untuk mengatasi kebakaran dan dampaknya ke orangutan terasa begitu-begitu saja. Reboisasi, patroli, kampanye, dan donasi. Bukannya tidak efektif, tapi seringkali langkah-langkah itu kalah cepat dan kalah besar dari skala masalahnya.
Kita sering reaktif. Kalau sudah ada asap dan api, barulah kita sibuk. Padahal, akar masalahnya ada di kelalaian dan ketidakmampuan kita untuk memantau dan bertindak proaktif.
Digital Guardian: Robot Penjaga Hutan, Bukan Sekadar Mainan Drone
Kita butuh solusi yang lebih cerdas, lebih futuristik. Tidak bisa lagi cuma mengandalkan cara manual yang telat. Saya punya ide, sebut saja Proyek Digital Guardian. Sebuah sistem yang menggabungkan kecanggihan teknologi dengan urgensi masalah di lapangan.
Bayangkan, di hutan-hutan yang rawan terbakar, kita pasang sensor panas dan asap bertenaga surya. Sensor ini bukan sensor biasa, tapi yang menggunakan teknologi LoRaWAN (Long-Range Wide-Area Network) atau protokol komunikasi nirkabel untuk perangkat Internet of Things (IoT) yang memungkinkan transmisi data jarak jauh dengan daya rendah, seperti data dari sensor.
Ini teknologi yang hemat energi dan bisa mengirimkan data dari jarak sangat jauh. Data-data itu kemudian dikirimkan ke pusat komando, di mana ada machine learning yang sudah dilatih dengan data historis.
AI ini bukan cuma pintar, tapi juga punya firasat. Dia bisa memprediksi risiko kebakaran, dan kalau ada titik panas aneh, dia langsung kasih tahu. Begitu ada tanda-tanda api, kita tidak perlu repot-repot mengirim manusia ke tengah hutan yang bahaya.
Cukup kirimkan drone patroli otonom yang sudah dilengkapi kamera termal resolusi tinggi. Drone ini bisa memverifikasi lokasi dan skala api. Bahkan, bisa menjatuhkan bom air mini atau zat pemadam api untuk memadamkan api yang masih kecil sebelum menyebar.
Dan yang paling penting, proyek ini juga melibatkan kita semua. Ada aplikasi khusus yang terhubung ke sistem ini. Masyarakat atau relawan yang menemukan orangutan terluka atau melihat tanda-tanda kebakaran bisa langsung lapor lewat aplikasi.
Ini membuat kita semua jadi bagian dari solusi, bukan cuma penonton yang prihatin.
Semoga Mata Kosong Itu Bisa Terisi Lagi
"Orangutan Mata Kosong" adalah sebuah peringatan. Itu adalah isyarat bahwa kita sudah terlalu jauh. Kita sudah terlalu banyak merusak, sampai-sampai mata makhluk tak berdosa itu kehilangan kilau hidupnya.
Solusi digital tadi mungkin terdengar seperti ide gila, tapi justru di kegilaan itulah seringkali kita menemukan jalan keluar. Bukan cuma soal melawan api, tapi juga tentang mengembalikan kilauan di mata mereka.
Membuat mereka percaya lagi kalau kita, manusia, masih bisa diandalkan. Bukannya malah menjadi penyebab dari semua penderitaan ini.
Kalau bukan kita yang bergerak sekarang, siapa lagi? Dan kalau bukan dengan cara yang berbeda, lantas dengan cara apa lagi kita bisa mengisi kembali mata-mata kosong itu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI