Orangutan yang sedang kelaparan dan kebingungan ini kerap dianggap sebagai hama, padahal mereka cuma sedang mencari makan dan tempat berlindung. Mata kosong itu pun bisa jadi ekspresi dari kebingungan dan pengkhianatan. Mereka lari dari satu ancaman, hanya untuk bertemu ancaman lain yang datang dari sesama makhluk hidup.
Nafas Terakhir di Tengah Bara Api
Di antara semua kisah memilukan itu, ada satu fakta yang paling brutal dan tak bisa dibantah. Yaitu soal kematian. Dikutip dari sebuah laporan Mongabay.co.id. Pada tahun 2016, tim penyelamat menemukan tiga orangutan yang tewas hangus terbakar di hutan Kalimantan Timur.
Mereka bukan lagi "mata kosong" yang trauma atau kebingungan, tapi sudah menjadi tumpukan abu dan tulang. Ini adalah fakta kepunahan yang paling telanjang. Tidak ada lagi kesempatan untuk rehabilitasi, apalagi untuk menatap masa depan.
Kisah mereka adalah bukti bahwa "mata kosong" itu bukan cuma kiasan. Ia adalah tanda awal dari sebuah akhir yang begitu tragis.
Selama ini, solusi untuk mengatasi kebakaran dan dampaknya ke orangutan terasa begitu-begitu saja. Reboisasi, patroli, kampanye, dan donasi. Bukannya tidak efektif, tapi seringkali langkah-langkah itu kalah cepat dan kalah besar dari skala masalahnya.
Kita sering reaktif. Kalau sudah ada asap dan api, barulah kita sibuk. Padahal, akar masalahnya ada di kelalaian dan ketidakmampuan kita untuk memantau dan bertindak proaktif.
Digital Guardian: Robot Penjaga Hutan, Bukan Sekadar Mainan Drone
Kita butuh solusi yang lebih cerdas, lebih futuristik. Tidak bisa lagi cuma mengandalkan cara manual yang telat. Saya punya ide, sebut saja Proyek Digital Guardian. Sebuah sistem yang menggabungkan kecanggihan teknologi dengan urgensi masalah di lapangan.
Bayangkan, di hutan-hutan yang rawan terbakar, kita pasang sensor panas dan asap bertenaga surya. Sensor ini bukan sensor biasa, tapi yang menggunakan teknologi LoRaWAN (Long-Range Wide-Area Network) atau protokol komunikasi nirkabel untuk perangkat Internet of Things (IoT) yang memungkinkan transmisi data jarak jauh dengan daya rendah, seperti data dari sensor.
Ini teknologi yang hemat energi dan bisa mengirimkan data dari jarak sangat jauh. Data-data itu kemudian dikirimkan ke pusat komando, di mana ada machine learning yang sudah dilatih dengan data historis.
AI ini bukan cuma pintar, tapi juga punya firasat. Dia bisa memprediksi risiko kebakaran, dan kalau ada titik panas aneh, dia langsung kasih tahu. Begitu ada tanda-tanda api, kita tidak perlu repot-repot mengirim manusia ke tengah hutan yang bahaya.
Cukup kirimkan drone patroli otonom yang sudah dilengkapi kamera termal resolusi tinggi. Drone ini bisa memverifikasi lokasi dan skala api. Bahkan, bisa menjatuhkan bom air mini atau zat pemadam api untuk memadamkan api yang masih kecil sebelum menyebar.