"Para pejabat harus sadar, di era media sosial ini, harus pintar-pintar pilih diksi yang adem, dan setiap kata yang salah bisa jadi bumerang yang menghancurkan kepercayaan."
Ada seorang nongkrong di warung kopi yang kalau ngomong itu suaranya lantang, intonasinya naik-turun, dan gestur tangannya ke mana-mana. Gayanya meyakinkan sekali, persis kayak motivator di acara seminar. Tapi, setelah dia selesai ngomong, saya mikir, "tadi dia ngomong apa, ya?"
Saya yakin kita semua punya teman kayak gitu. Nah, fenomena ini—yang entah kenapa, kok mirip banget sama yang sering kita lihat dari para pejabat. Sering banget mereka muncul di media, di podium, atau di depan kamera. Sorotan lampu, mikrofon, dan ribuan pasang mata menanti. Lalu, mereka bicara dengan gaya yang seolah-olah sudah terstruktur, tapi begitu selesai, publik cuma bisa menggaruk kepala.
Bukan soal gugup atau grogi. Kalau itu sih manusiawi. Masalahnya lebih dalam dari sekadar teknik pernapasan atau gestur tangan.
Masalahnya adalah: kenapa, pejabat kita sering banget blunder atau ngomong yang nggak ada isinya? Jawaban paling pahitnya adalah karena mereka memang nggak tahu apa yang mereka bicarakan. Dan public speaking mereka akhirnya cuma jadi panggung sandiwara yang sama sekali nggak lucu.
Baca juga:Â Rakyat Adalah Tuan, Tapi Kok Tuannya Cuma Bisa Ngontrak di Istana Sendiri?
Sebuah Analisis, Mengapa Pejabat Sering Banget Ngomong Gak Jelas
Masalahnya, banyak pejabat yang dipromosikan bukan karena kompetensi komunikasinya. Mereka naik jabatan karena pengalaman kerja atau malah bentuk "balas budi" saat pemilu. Tapi, di era digital ini, kemampuan berkomunikasi di depan publik jadi kebutuhan mendesak. Sayangnya, banyak dari mereka yang nggak siap.
Masyarakat sering merasa marah, bukan lega, setelah mendengar pejabat bicara. Pejabat bisa terdengar arogan, licik, atau bahkan bodoh di mata warganet, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ketika pesan tidak sampai, artinya komunikasi gagal total.
Akar masalah ini, saya rasa, ada pada substansi. Mereka nggak tahu isi, jadi mereka mainkan gaya. Mereka menutup-nutupi ketidakpahaman mereka dengan menggunakan "bahasa birokratis" yang rumit. Gak usah jauh-jauh, coba saja bayangkan. Alih-alih bilang, "harga beras naik," mereka bilang, "terjadi fluktuasi harga komoditas strategis." Padahal, yang kita butuhkan cuma satu kata: naik.
Mengacu pada artikel di Seqara.id, kredibilitas seorang pemimpin itu nggak bisa didelegasikan ke tim humas. Tim PR boleh saja bikin naskah yang keren, tapi keaslian, emosi, dan pemahaman substansi dari pemimpin itu sendiri nggak bisa diwakilkan. Kalau pemimpin cuma sekadar membacakan, publik pasti bisa merasakannya.