Tekanan semacam ini, apalagi ditambah dengan kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai atau tidak stabilnya kondisi finansial, bisa menjadi pemicu stres yang luar biasa. Badan mungkin kuat, tapi mental bisa kembang kempis kalau terus-menerus digempur ekspektasi yang tinggi tanpa jeda.
Stigma "Orang Gila" yang Bikin Malas Berobat
Ini dia, salah satu musuh terbesar kesehatan mental di Indonesia: stigma. Dulu, dan bahkan sampai sekarang di beberapa tempat, masalah mental seringkali disamakan dengan gila atau dianggap kurang beribadah. Anggapan ini bikin banyak orang, apalagi anak muda, malu luar biasa untuk mencari bantuan.
Minimnya literasi kesehatan mental membuat banyak dari mereka lebih nyaman menyelesaikan masalah sendiri atau dengan bantuan orang terdekat. Rasa malu ini muncul karena stereotipe negatif yang melekat pada orang dengan gangguan mental. Padahal, masalah mental itu sama seriusnya dengan masalah fisik. Kaki patah saja kita ke dokter, masa jiwa yang sedang patah dibiarkan sendirian? Kementerian Kesehatan sendiri pun terus mengampanyekan pentingnya memutus rantai stigma ini.
Bantuan Ada, Tapi Kok Jauh dan Mahal, Ya?
Bayangkan sudah berani melawan stigma, tapi begitu mau cari bantuan, ternyata aksesnya susah. Terutama di daerah-daerah terpencil, layanan psikolog atau psikiater mungkin tidak tersedia. Kalaupun ada, biayanya bisa bikin dompet menjerit, apalagi kalau tidak punya BPJS Kesehatan atau asuransi lain.
Artikel Tempo juga menyoroti keterbatasan akses layanan kesehatan mental ini sebagai salah satu faktor yang menghambat kaum muda mencari pengobatan formal. Belum lagi kalau ada pengalaman buruk dengan tenaga kesehatan yang kurang empatik, bukannya sembuh malah makin down.
Baca juga:Â Lingkaran Sosial Bukan Sekadar Teman, Tapi Tempat Pulang Batin
Bukan Sekadar "Bad Mood", Ini Dampak Nyatanya!
Anggapan bahwa masalah mental hanyalah "bad mood" yang bisa hilang dengan sendirinya itu keliru besar. Kalau dibiarkan, dampaknya bisa merambat ke semua aspek kehidupan. Prestasi di sekolah atau kampus bisa anjlok, produktivitas di tempat kerja menurun drastis. Hubungan dengan keluarga atau teman jadi renggang karena komunikasi yang buruk atau mudah tersinggung.
Bahkan, dalam kasus yang lebih parah, gangguan mental yang tidak ditangani bisa berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan. Ini bukan lagi soal "tidak semangat", tapi kualitas hidup secara keseluruhan yang terganggu.
Jalan Keluar dari Lorong Gelap, Bisakah Kita Berpijak Lagi?
Melihat gambaran di atas, mungkin rasanya seperti terjebak dalam lorong gelap. Tapi, selalu ada jalan keluar, kok! Kita tidak bisa hanya diam dan berharap semuanya membaik sendiri. Ada banyak langkah yang bisa kita ambil, bersama-sama.
Edukasi Itu Kunci, Dari Bangku Sekolah Hingga Meja Makan!
Edukasi tentang kesehatan mental harus dimulai sejak dini. Di sekolah, di rumah, di komunitas. Kita perlu diajarkan bahwa merasa sedih, cemas, atau tertekan itu normal dan valid. Kita perlu belajar mengenali tanda-tandanya, baik pada diri sendiri maupun orang di sekitar. Semakin tinggi literasi kita, semakin kita berani membicarakan dan mencari solusi.
Lingkungan Sosial Itu Terapi Terbaik, Lho!
Keluarga, teman, sekolah, dan tempat kerja punya peran besar. Menciptakan lingkungan yang suportif, di mana orang merasa aman untuk bercerita tanpa dihakimi, itu penting sekali. Kadang, hanya dengan didengarkan saja, sudah terasa sangat melegakan. Jika ada yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan, jangan sungkan untuk bertanya atau menawarkan bantuan.