Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Program Makan Bergizi Gratis, Niat Baik yang Masih Sulit Jadi Kenyataan

3 Mei 2025   09:18 Diperbarui: 5 Mei 2025   10:39 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi program MBG. Program MBG di SMP Negeri 35 Bandung dihentikan sementara waktu setelah ratusan siswa keracunan setelah menyantap makanan yang disajikan. (Foto: KOMPAS.com/Labib Zamani)

"Program Makan Bergizi Gratis digadang-gadang jadi solusi stunting, tapi efektifkah atau justru program ini tak menyentuh akar persoalan?"

Sejak pertama diumumkan, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) langsung jadi bahan pembicaraan di mana-mana. 

Bukan semata karena skalanya yang besar—menargetkan hampir 83 juta anak di seluruh Indonesia—tapi juga karena beban anggaran yang membuat banyak orang menelan ludah: sekitar Rp400 triliun. 

Jika dihitung di atas kertas, ini tampak seperti bentuk cinta negara pada generasi mudanya. Namun di bawahnya, muncul pertanyaan demi pertanyaan: realistiskah? Efektifkah? Dan, paling penting, menyasar masalah yang mana?

Realitas yang Menggigit, Gratis Tapi Tidak Sehat

Harapan tentang makan siang sehat untuk anak-anak sekolah sempat membuat sebagian masyarakat tersenyum. Tapi senyum itu cepat hilang begitu fakta di lapangan berbicara lain. 

Dilansir dari Kompas, di Cugenang, Cianjur, sebanyak 16 siswa SD dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan dari program MBG. Mereka mual, muntah, pusing—dan harus dilarikan ke puskesmas. Ini belum program penuh, baru tahap simulasi.

Pertanyaannya sederhana tapi menohok: kalau simulasi saja sudah seperti ini, bagaimana nanti saat program dijalankan setiap hari di seluruh pelosok negeri?

Program sebesar ini bukan sekadar urusan piring berisi nasi, lauk, dan sayur. Ia butuh sistem pengawasan gizi dan higienitas yang solid, rantai distribusi yang rapi, dan tenaga pelaksana yang memahami bahwa makanan bukan hanya soal kenyang, tapi soal sehat. Sayangnya, satu kejadian buruk bisa jadi gambaran risiko nasional kalau hal-hal mendasar itu diabaikan.

Indonesia Itu Rumit, Bukan Sekadar "Nasi, Lauk, dan Sayur"

Kita harus mengingatkan diri kita sendiri: Indonesia ini bukan Finlandia. Wilayahnya tidak mungil, infrastruktur tidak merata, dan harga bahan pangan di satu pulau bisa dua kali lipat dibanding pulau lain. 

Menurut laporan BPS, disparitas harga dan ketersediaan pangan masih jadi masalah antarwilayah. Apa yang murah dan mudah di Jawa, bisa jadi mewah dan langka di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun