Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Wi-Fi vs Kopi

2 April 2025   22:22 Diperbarui: 3 April 2025   05:25 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Wi-Fi vs Kopi (Sumber: Meta AI)

"Ketika Wi-Fi gratis membuat warung kopi Pak Ujang berubah jadi markas kaum rebahan, ia harus menemukan cara licik untuk menyelamatkan usahanya."

Pak Ujang duduk di bangku kayunya yang sudah mulai longgar sambil menatap warung kopi sederhana yang dibangunnya dengan susah payah. Warung itu bukan sekadar tempat jualan, melainkan tempat orang-orang desa berkumpul, berbincang, dan saling bertukar kabar. Setidaknya, dulu begitu.

Sekarang? Semua berubah sejak ia memasang Wi-Fi gratis.

Awalnya, ide itu terdengar jenius. Warung kopi dengan Wi-Fi gratis? Pasti ramai! Pasti laris! Pasti untung besar! Begitu pikirannya saat itu. Dan benar saja, warungnya langsung jadi tempat paling populer di desa. Anak-anak muda, bapak-bapak, bahkan ibu-ibu mulai berdatangan. Meja-meja yang dulu hanya diisi beberapa pelanggan kini penuh setiap hari.

Namun, ada yang janggal. Kopi yang ia seduh tak secepat itu berkurang. Biasanya, setiap pelanggan yang datang minimal memesan dua atau tiga cangkir. Sekarang? Ada yang hanya memesan satu cangkir kopi dan bisa bertahan sampai warung tutup. Bahkan ada yang duduk berjam-jam hanya dengan segelas teh manis yang sudah dingin sejak subuh.

Pak Ujang mulai merasa ada yang tidak beres. Ia mengamati pengunjungnya. Kepalanya sedikit mencondong ke depan, matanya menyipit, memperhatikan satu per satu. Semua orang menunduk, bukan dalam doa atau perenungan, melainkan terpaku pada layar ponsel mereka. Jemari mereka sibuk menari di atas layar, mengetik, menggulir, menekan, sesekali tertawa kecil tanpa menoleh ke siapa pun.

Sebuah meja di pojok warung menjadi pusat perhatian Pak Ujang. Di sana, tiga pemuda duduk dengan posisi yang sama sejak pagi. Salah satu dari mereka bersandar dengan kaki terangkat ke kursi, headset terpasang di telinga, entah mendengar musik atau menonton video. Yang satu lagi sibuk mengetik, sesekali tertawa lirih sambil menggelengkan kepala. Yang terakhir? Ah, yang satu itu lebih parah. Ia tertidur dengan mulut menganga seperti lubang goa yang tak beraturan dengan hembusan angin berbau kotoran kelelawar, layar ponselnya tetap menyala di samping gelas kopi yang hanya diminum seteguk.

Pak Ujang menghela napas panjang. Ia melirik ke saklar listrik di sudut warung. Beberapa kabel menjulur dari sana, menyambung ke beberapa charger yang tersambung ke ponsel pelanggan. Sejak kapan warung kopinya berubah jadi tempat charging gratis? Ia mencoba menghitung dalam hati, berapa banyak listrik yang sudah terpakai untuk menopang aktivitas digital para pelanggannya. Listriknya yang dulu hanya cukup untuk kipas angin dan satu lampu neon kini harus berbagi daya dengan puluhan ponsel yang tak mengenal istilah rehat.

Ia melangkah ke dapur, mengambil teko kopi, dan kembali ke meja kasir. Ia berdeham pelan, berharap ada yang menoleh. Tak ada. Ia berdeham lebih keras. Masih tak ada yang menggubris. Akhirnya, ia mengetuk meja dengan gelas kopinya. Beberapa pelanggan akhirnya mendongak, sebagian lain tetap tenggelam dalam dunia maya mereka.

"Wi-Fi lemot ya?" tanya salah satu pemuda dengan nada mengeluh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun