Udara pagi yang dingin membalur kaca mobil Nadira dengan embun tipis. Jarum jam di dashboard menunjukkan pukul 07.45, dan ia sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal biasanya. Tangannya menggenggam setir dengan erat, matanya terpaku ke depan. Pikiran tentang dokumen yang belum ia periksa dan klien yang menunggu di kantor berkelindan dalam benaknya. Lalu lintas Bandung tak pernah ramah bagi orang-orang yang terburu-buru.
Di persimpangan yang biasanya lengang pada jam ini, tiba-tiba seorang pengendara sepeda muncul dari arah kanan. Nadira tidak sempat menginjak rem sepenuhnya.
Brak!
Tubuh lelaki itu terpelanting ke aspal, sementara sepeda tuanya jatuh dengan roda depan yang bengkok parah. Nadira membeku sejenak sebelum akhirnya tersadar dan segera membuka pintu mobil.
"Astaga! Maaf! Saya benar-benar tidak melihat!" Nadira tergesa-gesa mendekat, napasnya memburu.
Lelaki itu—berambut sedikit acak-acakan, kaus putih dengan noda cat di bagian lengannya—mengangkat kepala dengan mata menyipit. "Santai. Saya baik-baik saja."
Nadira berjongkok, matanya menyapu tubuh lelaki itu, mencari luka atau darah. "Kamu yakin? Kamu perlu saya antar ke rumah sakit?"
Lelaki itu menghela napas, lalu menatap sepeda yang rusak. "Sepertinya sepedanya lebih butuh perawatan dibanding saya."
Nadira menggigit bibir. Rasa bersalah menghantam dadanya. "Saya akan mengganti sepedamu."
Lelaki itu menggeleng. "Tidak perlu."