Tetapi, meski pesan-pesan David Lipson dan Tapsell di akun Twitternya itu secara terang benderang mengkritik praktik berdemokrasi di Amerika dan di Indonesia yang mundur dan belum matang, namun, pasti selalu ada saja sebagian orang yang tidak sedang mendefinisikan seperti itu. Dalih mereka; dalam kehidupan negara demokrasi, hak menggugat harus dihargai. Menggugat adalah (termasuk) bagian dari demokrasi. Jika tidak, lantas mengapa harus ada MA dan MK?
Jadi, dengan demikian, menggugat, memprotes, atau menyatakan ketidaksetujuan dan yang sejenisnya itu, harus dianggap sebagai biasa dan lumrah dalam praktik berdemokrasi.
Trump, di Pilpres 2020 Amerika, tentu saja memiliki argumen, bukti, dan dalih untuk menggugat hasil pemilihan ke MA atau MK. Pun dengan Prabowo di Pilpres 2019 dan 2014.
Saya pribadi akhirnya berusaha mengambil sedikit sari dari pesan yang ditulis David Lipson dan Tapsell. Ada pelajaran dan kesempatan untuk menaikkan kelas berdemokrasi dari demokrasi semu menjadi demokrasi penuh atau yang sesungguhnya. Indeks demokrasi yang disusun oleh Economist Intelligence Unit (EIU), dengan tujuan untuk mengukur keadaan demokrasi di negara-negara uyang diservei, memang menyebutkan indeks demokrasi Indonesia memang menaik, tetapi tetap saja ada kesempatan untuk membuatnya menjadi lebih baik.