Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tangisan Risma, antara Kodrat dan Pertaruhan Popularitas

30 Juni 2020   11:56 Diperbarui: 1 Juli 2020   05:30 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, saat berkunjung ke Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Rabu (31/7/2019).(KOMPAS.com/RODERICK ADRIAN MOZES)

Saya tertegun kemarin. Rasanya tak percaya dengan kabar yang saya baca. Lalu terjawab sudah kekhawatiran saya ketika kemudian membaca baris-baris komentar yang bersahut-sahutan di panggungnya.

Ibu Risma, Wali Kota Surabaya, ibu yang saya banggakan, yang sering kulihat teguh, gigih, dan kuat kemarin akhirnya terkulai lemah. Ia lalu menangis! Begitulah kabar yang saya baca kemarin.

Anda juga bisa menemukan momen-momen saat ibu Risma menangis dan bersujud simpuh saat audiensi bersama IDI Jatim dan IDI Surabaya itu di saluran Youtube.

Dan, tentu saja, seperti biasanya, berita Risma menangis itu lantas menyebar dengan cepat dan apa yang kukhawatirkan akhirnya terjadi. Risma yang sedang dipuji Megawati dan digadang-gadang maju di Pilgub DKI akhirnya menjadi bahan olok-olok banyak orang.

Olok-olok para netizen itu menyimbolkan polar-polar yang berbeda: yang membenci dan mendukung. Ia diolok-olok pada saat dia seharusnya sedang dalam posisi mempertaruhkan popularitasnya. Olok-olok itu mungkin saja bisa menjadi tidak bagus untuk Risma.

Apakah cerita pejabat menangis adalah cerita lumrah dan Risma adalah satu-satunya pejabat yang pernah menangis di depan publik?

Sekedar informasi sebagai bahan referensi saja, seperti saya kutip dari beberapa sumber, bahwa Ibu Risma ternyata bukanlah satu-satunya pejabat yang terekam kamera pernah menangis di depan publik.

Saat pembacaan eksepsi dalam sidang lanjutan perkara pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU), Dahlan Iskan, mantan menteri BUMN, juga pernah menangis.

Pun di luar negeri ada kisah yang serupa. Charlie Baker, gubernur Partai Republik Massachusetts, pernah menangis ketika berbicara tentang kematian ibu sahabatnya. Sama seperti pak SBY yang terisak menangis saat ia berbicara tentang Ani Yudhoyono.

Mark Meadows, Kepala Staf Gedung Putih untuk Trump, juga sering menangis dalam pertemuan dengan staf Gedung Putih, sementara Andrew M. Cuomo, gubernur Demokratik New York, menangis lebih dari satu kali selama briefing Covid-19 yang disiarkan televisi.   

Jadi, sebenarnya, apakah ia pejabat laki-laki atau wanita, ternyata mereka bisa menangis di depan publik. Jadi, barangkali ini bukan perkara tidak lumrah.

Laki-laki memang cenderung terlihat mampu menahan kesedihannya, tetapi tidak dengan perempuan. Perempuan mampu menangis walaupun ia sedang berada di depan banyak orang. Jika perempuan sedang sendirian, niscaya ia bisa lebih lama waktu menangisnya -- untuk menghayati ketika ia meneteskan air matanya.

Bagi seorang perempuan, air mata yang mengalir pelan di pelupuk matanya itu sebenarnya adalah makna: ia sangat bersalah, butuh bantuan dan dukungan.

"Menangis adalah cara nonverbal untuk mengatakan: saya butuh bantuan dan dukungan," kata Profesor Wolf. Air mata bisa membuat seorang pemimpin tampak lebih nyaman dan "lebih hangat". Tetapi, air mata, katanya, juga dapat membuat seorang pemimpin tampak tidak berdaya dan kurang kompeten.

Menurut penelitian, menangis itu bukan monopoli kaum perempuan saja. Menurut William H. Frey, seorang ahli biokimia, perempuan (rata-rata) menangis lima kali lebih sering daripada laki-laki, yaitu: lima kali per bulan. Perempuan juga menangis lebih lama.

Ada banyak alasan untuk menerima tangisan sebagai hal lumrah, termasuk kondisi budaya - lebih dapat diterima bagi perempuan untuk menangis - dan fakta bahwa saluran air mata perempuan secara anatomis lebih dangkal dibandingkan laki-laki, yang mengarah ke spillover, yang membuat tangisan perempuan lebih terlihat.

Tetapi, tetap saja, harapan sosial mengatakan: laki-laki, apalagi dalam politik, secara tradisional sebaiknya memang tidak perlu menangis.

Ibu Risma, ibu yang saya banggakan, yang sering kulihat teguh, gigih dan tak pernah mau kompromi, yang saya harapkan ia seharusnya tidak menangis karena ia sedang mempertaruhkan popularitasnya, akhirnya 'tak mampu' melawan kodratnya.

Sumber foto ilustrasi: regional.kompas.com
Sumber foto ilustrasi: regional.kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun