Fajar berikutnya, ia memanggil Ki Wuragil dan para prajuritnya. Di tanah lapang dekat bengawan, ia menancapkan sebilah tombak pendek---tombak yang dulu menemaninya sejak masa Demak.
"Mulai hari ini," katanya tegas, "Pajang bukan benteng, tapi jembatan. Siapa pun yang datang dengan niat baik, akan kuterima. Tapi siapa pun yang datang membawa keserakahan, akan hanyut oleh arusnya sendiri."
Angin berembus pelan, menyentuh ujung bendera yang baru dikibarkan: putih dengan garis biru di tengah---lambang air dan keseimbangan.
"Air sudah naik," kata Ki Wuragil lirih.
Karebet tersenyum. "Dan setiap ombak akan meninggalkan riak, Wuragil. Riak itu---biarlah menjadi nama kita."
Bersambung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI