Sore itu, di tepi sungai, Joko Tingkir duduk di bawah pohon asam tua. Ia menggambar sesuatu di tanah dengan ranting---sebuah lingkaran besar, lalu garis-garis kecil yang keluar dari pusatnya seperti sinar matahari.
"Ini lambang Pajang," katanya pada Ki Wuragil. "Bukan kerajaan yang berdiri di atas darah, tapi atas aliran air. Dari sini, kekuatan akan menyebar ke segala arah tanpa merusak sumbernya."
Ki Wuragil memandangi lingkaran itu lama. "Tapi, Gusti, bila air terlalu deras, ia bisa meluap."
Karebet mengangguk pelan. "Karena itu, yang memimpin harus tahu kapan menampung, bukan hanya mengalirkan."
Beberapa hari kemudian, kabar sampai ke Demak bahwa Joko Tingkir telah menetap di Pajang. Sultan Trenggana mendengar berita itu dengan wajah sulit dibaca. Di sampingnya, beberapa bangsawan berbisik-bisik, takut kalau Karebet akan membangun kekuasaan sendiri.
"Biarkan ia di sana," kata Sultan akhirnya. "Pajang adalah tanah datar di antara dua sungai besar. Bila ia mampu menyeimbangkan airnya, berarti ia memang dipilih untuk menampung masa depan."
Namun dalam hati, Sultan tahu: arus sejarah sedang berubah arah.
Suatu malam, di tepi Bengawan, Karebet berdiri sendirian. Angin dari selatan membawa bau laut yang jauh di sana, dan bulan bulat menggantung seperti mata yang menatap dari langit.
Ia memandangi air yang memantulkan wajahnya, kini tidak lagi digandeng bayangan kelam seperti dulu.
"Dulu aku adalah air yang mencari bentuk," gumamnya. "Kini aku harus menjadi ombak---mendorong kapal, tapi tak menenggelamkan."
Ia mengingat kata-kata gurunya, Sunan Kalijaga: 'Kekuatan sejati bukan pada tangan, tapi pada arah air yang kau pilih.'
Dari kejauhan, suara tabuh gamelan terdengar samar dari desa-desa sekitar Pajang. Mungkin itu tanda sambutan, mungkin hanya pesta rakyat kecil. Tapi bagi Karebet, itu seperti denting takdir---mengabarkan bahwa ia telah sampai di tempat di mana bayangan berubah menjadi masa depan.