Keduanya saling menatap tanpa bicara. Alam di sekitar seolah menahan napas. Burung-burung berhenti berkicau, dedaunan tak lagi bergoyang.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Karebet akhirnya.
"Aku adalah yang kau buang di setiap doa," jawabnya tenang. "Aku bagian dari amarahmu, dendammu pada Jipang, rasa hausmu akan pengakuan. Kau mengingkari aku, tapi justru itulah yang membuatku kuat."
Karebet menarik napas panjang. "Kalau begitu, malam ini aku akan menebusnya. Bukan dengan membunuhmu, tapi dengan memaafkan."
Bayangan itu tertawa pelan, suaranya bergema di antara batang-batang pohon. "Memaafkan? Jangan berpura-pura menjadi suci, Karebet. Kau ingin menghapusku, bukan memaafkan."
"Tidak," kata Karebet. Ia menatap tanah, lalu kembali ke langit. "Aku ingin menyeimbangkanmu."
Hening sejenak. Lalu angin berembus kencang, seperti ada kekuatan yang mulai bergolak. Obor di tangan Ki Wuragil padam, menyisakan cahaya rembulan yang menetes di antara ranting. Dua sosok itu kini seperti cermin: satu dilingkari cahaya lembut, satu lagi diselimuti bayangan pekat.
Bayangan itu mengangkat tangan, dan dari tanah tiba-tiba muncul kabut hitam yang membentuk pusaran. "Inilah dunia yang kau buat, Karebet," katanya dingin. "Kerajaan tanpa takhta, kekuasaan tanpa batas---asal kau berani menyentuh kegelapan."
Karebet melangkah maju. "Aku memilih berjalan dalam terang, meski sinarnya membuatku buta."
Dengan satu hentakan kaki, ia menancapkan tombak kecil ke tanah. Cahaya keluar dari ujungnya, memecah kabut, membuat hutan bergetar. Bayangan itu menjerit pelan, tapi suaranya bukan kesakitan---melainkan kepedihan.
"Jika aku lenyap," katanya lirih, "kau akan kehilangan separuh jiwamu."