Joko Tingkir -- Bagian 28: Hutan yang Menyimpan Nama
Alas Mentaok menyambut Joko Tingkir dengan kesunyian yang tidak biasa.
Hutan itu bukan sekadar rimba; ia seperti ruang antara dunia nyata dan bayangan. Pepohonan tinggi menjulang, akar-akar menembus tanah seperti urat tua yang menahan rahasia masa lampau. Di beberapa tempat, kabut tipis menggantung, menutup jalur tanah yang berkelok, membuat siapa pun yang lewat merasa seperti berjalan di antara mimpi dan kenyataan.
Ki Wuragil berjalan di belakang, membawa obor kecil yang nyalanya menari. "Tempat ini," katanya pelan, "dulu disebut tanah hilang. Banyak prajurit Jipang tak pernah kembali setelah melintasinya."
Karebet hanya menjawab dengan tatapan. Ia tahu, Alas Mentaok bukan sekadar hutan biasa. Ini adalah panggung yang telah dipilih oleh takdir---dan oleh musuhnya.
Di tengah perjalanan, mereka menemukan sebuah sungai kecil. Airnya jernih, tapi arusnya berputar seperti lidah ular. Karebet berhenti, lalu berjongkok, menatap ke dalam air yang memantulkan wajahnya. Sesaat ia melihat dua bayangan: dirinya, dan sosok lain di belakang pantulan.
"Dia sudah di sini," katanya perlahan.
Langit mulai gelap ketika dari balik pepohonan muncul sosok berpakaian hitam, berjalan perlahan dengan langkah ringan seperti tidak menyentuh tanah. Wajahnya masih sama---wajah Karebet, tapi dengan sorot mata yang lebih dalam, lebih kelam.
"Selamat datang, Karebet," katanya. "Aku tahu kau akan datang. Karena tak ada yang bisa hidup tenang bila bayangannya masih berkeliaran."
"Dan tak ada bayangan yang bisa hidup bila matahari menatapnya," balas Karebet.
Bayangan itu tersenyum tipis. "Ah, matahari juga punya senja, Karebet. Dan senja adalah saat di mana bayangan paling panjang."