Joko Tingkir --- Bagian 27: Bayangan di Alas Mentaok
Pelataran Keraton Demak terdiam seperti baru saja kehilangan napas. Semua mata tertuju pada dua sosok yang berdiri saling berhadapan di bawah cahaya obor yang gemetar tertiup angin. Satu berpakaian putih gading dengan sorot mata teduh namun tajam --- itulah Karebet, Joko Tingkir. Yang satu lagi mengenakan jubah serupa, namun dengan senyum dingin yang menggantung di ujung bibir, seperti cermin yang sedikit retak.
Sultan Trenggana memandangi keduanya tanpa berkata-kata. Para prajurit ragu untuk bergerak, takut salah memilih siapa yang harus dijaga dan siapa yang harus diikat. Bahkan Ki Wuragil pun mematung; tangannya meraba gagang keris tapi tak sanggup mencabut.
"Siapa kau?" suara Sultan akhirnya memecah kesunyian.
Orang yang datang itu tertawa lirih. "Aku, Gusti... Joko Tingkir. Bukankah paduka memanggilku pulang?"
Karebet melangkah maju, matanya tajam. "Kalau kau benar Joko Tingkir, sebutkan di mana Bengawan menelan perahuku tiga tahun lalu."
Bayangan itu tersenyum. "Di tikungan Watu Ulo, di mana air berputar seperti lidah ular. Tapi yang selamat bukan hanya perahumu, Karebet, melainkan juga dendammu."
Ruangan berguncang oleh bisik-bisik. Sultan menatap keduanya, keningnya berkerut dalam. Ada sesuatu dalam suara bayangan itu --- terlalu tepat, terlalu tahu.
"Gusti," ujar Karebet perlahan, "itu bukan aku. Ia utusan Jipang yang dikirim untuk mencampur aduk keyakinan."
"Tuduhan yang mudah diucapkan oleh mereka yang sedang gentar," jawab si bayangan, nada suaranya manis tapi dingin. "Bukankah kau sendiri selalu bermain dengan ilusi dan taktik, Karebet? Kini kau merasakan buahnya."