24: Panarukan Menata Nafas.
Joko Tingkir -- Bagian 24: Panarukan Menata Nafas
Pagi datang dengan cahaya yang lembut, seperti hendak menenangkan luka tanah setelah semalam berguncang oleh sorak kemenangan. Di alun-alun Panarukan, debu yang kemarin beterbangan kini mereda, menyisakan aroma basah dari embun yang menempel di rerumputan. Rakyat mulai berdatangan membawa sapu lidi, ember, dan serok. Tak ada yang menyuruh, tak ada yang memerintah. Mereka membersihkan bekas pertarungan itu dengan sukarela, seolah ingin menghapus jejak kekacauan dan menggantinya dengan harapan baru.
Karebet berdiri di serambi balai kadipaten, mengenakan pakaian sederhana tanpa lambang kebesaran. Di sampingnya, Ki Ageng Banyubiru memandang para warga yang bekerja dengan wajah lega. "Panarukan tak hanya selamat dari pertempuran," katanya pelan, "tapi juga dari ketakutan yang telah menahun."
Karebet menatap jauh, ke arah sungai kecil di ujung pasar. "Rakyat butuh lebih dari sekadar kemenangan, Ki Ageng. Mereka butuh alasan untuk percaya bahwa kekuasaan tak selalu berarti ketakutan."
Seorang lurah desa mendekat, membungkuk hormat. "Ndoro Senopati, para nelayan di muara meminta izin memperbaiki perahu mereka yang rusak saat pasukan Jiongh berlabuh dulu. Mereka takut dianggap melawan bila bergerak tanpa perintah."
Karebet menepuk bahunya lembut. "Katakan pada mereka, masa takut sudah lewat. Siapa pun yang bekerja untuk kehidupan, itu sudah bagian dari pasukan kita."
Ucapan itu menyebar seperti embun yang menetes di pagi hari. Rakyat mendengar, dan dari sana lahir semangat baru. Anak-anak berlarian di jalan yang baru disapu bersih, perempuan menjemur kain sambil bercakap tentang masa depan, dan para prajurit Demak mulai membantu memperbaiki lumbung padi. Tak ada lagi jarak antara pedang dan cangkul.
Menjelang siang, Karebet mengumpulkan para kepala kampung di pendapa. Di atas meja terhampar peta kecil Panarukan dan jalur-jalur air menuju laut. Ia berbicara bukan sebagai panglima perang, tapi sebagai penata wilayah.
"Kita akan jaga muara dan pelabuhan. Tapi jangan isi dengan prajurit bersenjata, melainkan dengan nelayan yang kita percayai. Jika Jipang datang, mereka yang pertama tahu lewat arus laut. Dan jika rakyat mulai resah, mereka yang pertama menenangkan."
Ki Ageng Banyubiru menimpali, "Kau membangun benteng tanpa batu, Karebet. Tapi mungkin justru itu yang paling kuat."
Senopati muda itu tersenyum tipis. "Batu bisa runtuh, Ki. Tapi hati rakyat --- bila dijaga dengan kepercayaan --- tak mudah direbut."
Menjelang sore, suara gamelan terdengar dari arah balai desa. Bukan pesta, melainkan latihan anak-anak muda yang tiba-tiba bersemangat memukul kenong dan kendang. Mereka menirukan irama yang biasa mengiringi upacara di istana Demak, seakan Panarukan hendak belajar bernapas dalam damai.
Namun di ujung senja, seekor burung gagak melintas rendah di langit barat. Bayangannya jatuh tepat di atas atap pendapa, membuat Karebet menengadah sejenak. "Kadang," gumamnya pelan, "kedamaian hanyalah jeda sebelum ujian baru."
Ki Ageng Banyubiru menatap ke arah yang sama. "Dan angin utara itu mulai bergerak lagi, Karebet. Cepat atau lambat, Jipang akan datang membawa dendam."
Senja pun tenggelam di balik rawa-rawa. Panarukan menata nafas, tapi jauh di utara, badai mulai menggumpal --- menunggu waktu untuk turun.
Bersambung...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI