Ki Ageng Banyubiru menimpali, "Kau membangun benteng tanpa batu, Karebet. Tapi mungkin justru itu yang paling kuat."
Senopati muda itu tersenyum tipis. "Batu bisa runtuh, Ki. Tapi hati rakyat --- bila dijaga dengan kepercayaan --- tak mudah direbut."
Menjelang sore, suara gamelan terdengar dari arah balai desa. Bukan pesta, melainkan latihan anak-anak muda yang tiba-tiba bersemangat memukul kenong dan kendang. Mereka menirukan irama yang biasa mengiringi upacara di istana Demak, seakan Panarukan hendak belajar bernapas dalam damai.
Namun di ujung senja, seekor burung gagak melintas rendah di langit barat. Bayangannya jatuh tepat di atas atap pendapa, membuat Karebet menengadah sejenak. "Kadang," gumamnya pelan, "kedamaian hanyalah jeda sebelum ujian baru."
Ki Ageng Banyubiru menatap ke arah yang sama. "Dan angin utara itu mulai bergerak lagi, Karebet. Cepat atau lambat, Jipang akan datang membawa dendam."
Senja pun tenggelam di balik rawa-rawa. Panarukan menata nafas, tapi jauh di utara, badai mulai menggumpal --- menunggu waktu untuk turun.
Bersambung...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI