"The same stream of life
that runs through my veins night and day
runs through the world
and dances in rhythmic measure."
Tagore : dalam Gitanyali
Awal Perjalanan di JTTC
Hari itu langit Yogyakarta membentang biru cerah dengan sedikit awan tipis. Matahari condong di atas kepala, dan jam di ponsel saya menunjuk 12.20 ketika kendaraan kami masuk ke halaman Jogja Tourism Training Center (JTTC), di Kragilan, Melati, Sleman, di sebelah utara kota Yogya.
Sepuluh menit sebelum jadwal tur dimulai, ruang tunggu sudah ramai. Para peserta duduk rapi di kursi sofa yang ditata berjejer. Sesuai aturan, semua mengenakan batik warna warni, corak yang memantulkan nuansa resmi sekaligus hangat.
Di halaman, dua bus berwarna cerah sudah siap. Bentuknya ikoni. Yang warna merah disebut bus Malioboro, sementara yang warna kuning, bus Kraton. Bodinya tinggi langsung dengan kaca jendela besar, bahkan sebagian atap juga dari kaca. Keduanya dicat warna khas retro, mirip kendaraan wisata tempo dulu. Bus inilah yang akan membawa kami menyusuri jalur kosmis yang sakral bagi masyarakat Jawa: sumbu filosofi Sangkan Paraning Dumadi ---asal dan tujuan hidup manusia.
Tepat pukul 12.30, seorang dua lelaki muda pria berseragam biru muda menyapa kami dengan ramah. Di dada mereka ada tulisan "Edukator." Walaupun begitu saya lebih suka menyebutnya pemandu wisata.
Enam belas peserta tur dibagi dua kelompok, Delapan naik bus Kraton, delapan lagi naik bus Malioboro. Kamu bertiga, Saya, Yanto dan Tuti, naik bus Kraton bersama lima orang gadis yang masih remaja.
Perkenalan dengan Edukator Mas Wibi
Tidak lama, salah seorang pemuda naik ke bus, dia adalah Mas Wibi, pemandu tur kami. Senyumnya ramah, dan ia pandai mengatur intonasi suara sehingga setiap penjelasan terdengar jelas tanpa pengeras suara.