Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menyusuri Sumbu Filosofi Bersama Jogja Heritage Track

20 September 2025   09:34 Diperbarui: 20 September 2025   09:52 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Acara ini dibiayai dari dana keistimewaan DIY," ujarnya membuka. Kalimat itu mengingatkan bahwa perjalanan ini bukan sekadar jalan-jalan, tapi bagian dari usaha menjaga warisan budaya. Mas Wibi lalu menyebut beberapa varian lain: ada Jogja Heritage Cycling setiap Sabtu, tur kuliner, hingga heritage dengan nuansa kolonial. Katanya, slot untuk tur ini seperti undian. Siapa cepat, dia dapat. Saya terkekeh sendiri---betul juga, biasanya selalu penuh, tapi kemarin saya beruntung mendapat tiga kursi kosong. Rasanya bagaikan menang undian berhadiah jutaan Dollar.
Seluruh peserta kemudian memperkenalkan diri dan semuanya ternyata baru pertama kali ikut Jogja Heritage Track ini. Tiga gadis berasal dari Bekasi dan dua lainnya dari Padang, ada yang masih mahasiswi dan ada juga  yang berstatus magang.

Bus Menuju Selatan: Plengkung Nirbaya dan Kampung Abdi Dalem
Bus bergerak pelan ke arah selatan. Jalan Magelang kami lewati, kemudian terus melewati Jalan Letjen Suprapto. Di dekat Ngabean, Mas Wibi bercerita bahwa dulu ada stasiun di Ngabean ini.  Bus melewati sisi barat benteng baluwerti sebelum belum kiri ke  Jalan MT Haryono. Saat hampir sampai di Plengkung Gading---juga dikenal sebagai Plengkung Nirbaya---Mas Wibi bercerita dengan nada serius.
Menurut Mas Wibi, secara bahasa, nir berarti tanpa atau bebas dari, sedangkan baya berarti bahaya atau marabahaya. Jadi, nirbaya dapat dimaknai sebagai bebas dari bahaya atau jalan keselamatan. Namun makna "nirbaya" di sini bukan sekadar bebas bahaya, melainkan lebih filosofis: sebuah perjalanan terakhir menuju alam baka, meninggalkan dunia fana menuju keselamatan abad

"Plengkung  ini hanya boleh dilewati Sultan setelah wafat, saat jenazahnya diarak ke Imogiri," katanya. Uniknya  Rakyat biasa terkena aturan sebaliknya. Boleh lewat selam masih hidup namun jenazah harus lewat jalan lain. Plengkung ini adalah gerbang antara dunia fana dan baka, bukan sekadar plengkung dan pintu gerbang keluar masuk kawasan Kraton.

Saya menoleh. Plengkung  putih besar itu memang sedang direnovasi, dipagari seng, tetapi auranya tetap kuat. Saya teringat dulu hingga beberapa bulan lalu ketika jalan ini belum ditutup, saya sering berjalan kaki sendirian ke arah selatan melewati plengkung itu. Dari alun-alun selatan, menuju Panggung Krapyak  melihat kawasan  pesantren, tanpa pemandu. Tanpa dongeng, perjalanan tetap mengasyikan.
Hari ini berbeda: setiap tembok, setiap batu, seolah punya cerita karena suara Mas Wibi membuatnya seakan hidup bercerita.

"Hampir setiap jalan atau kampung di Yogya ini memiliki nama berakhiran "an," jelas mas Wibi.  Hal ini memang unik karena di dalam Kraton misalnya dana Gamelan karena di situ tinggal abdi dalem yang berprofesi memelihara kuda.  Sementara di kawasan dekat Malioboro ada kampung bernama Ketandan yang merupakan kampung Tionghoa. Dulunya mereka berprofesi sebagai pemungut pajak. Juga ada kampung Patehan yang merupakan  kampung pembuat teh untuk Sultan. Nama-nama itu sederhana, tapi jadi semacam arsip hidup.

Saat melewati Jogokaryan, Mas Wibi menambahkan cerita tentang pergeseran makna ruang. Dulu kampung abdi dalem  prajurit penjaga Kraton, kemudian sempat menjadi basis pergerakan kaum kiri, kini justru terkenal dengan masjid besar dan pesantren. Kota memang punya lapisan-lapisan sejarah seperti bawang: dikupas satu, ada lagi di dalamnya.

Panggung Krapyak: dokpri 
Panggung Krapyak: dokpri 

Tiba di Panggung Krapyak


Bus akhirnya berhenti di tujuan utama wisata kami siang itu . Di depan kami berdiri sebuah bangunan tua berdinding putih tebal, kokoh tapi sederhana: Panggung Krapyak. Dari foto yang saya abadikan, tampak jelas bentuknya: bangunan dua lantai, berdiri di atas fondasi tinggi. Dindingnya tebal kokoh walau terlihat sedikit  kusam dan  kasar, namun tetap terawat. Di setiap sisi ada satu pintu dan dua jendela kecil berbentuk lengkung. Tangga naik ada di sisi timur laut, menempel di dinding, membawa kita ke lantai dua.

Mas Wibi menjelaskan bahwa bangunan ini dibangun tahun 1758 oleh Sultan Hamengkubuwono I. Dahulu tempat ini berada di hutan luas penuh kijang. Panggung berfungsi sebagai pos pengintaian dan tempat peristirahatan  saat Sultan berburu, sekaligus tempat pasukan jurit jager berjaga. Karena itu di Yogya ada kampung Jageran khusus kediaman prajurit ini. Dari atas, Sultan bisa melihat gerakan menjangan di hutan yang dikelilingi pagar kayu.

Uniknya, bangunan ini dibuat dengan teknik gosok: batu kapur atau gamping dan tanah liat digosok hingga rekat, tanpa semen. Seperti candi-candi Jawa Timur. Berbeda dengan candi Jawa Tengah yang menggunakan batu andesit berpola kunci, yang disusun bagai lego. Meski sederhana, bangunan ini sudah bertahan hampir tiga abad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun