Kursi dan Ritual labuhan
Di dalam panggung, saya melihat sesuatu yang agak janggal: sebuah kursi warna putih sederhana diletakkan di tengah ruangan. Mas Wibi menjelaskan bahwa kursi itu baru ditempatkan pada 2021 atas perintah Kraton pada upacara yang disebut Labuhan. . Setiap tahun, panggung dibersihkan, diberi wewangian, lalu kursi itu dipakai dalam upacara.
Kursi itu tampak biasa---kayunya warna putih pucat, bentuknya sederhana dengan sedikit ukiran---tetapi dalam konteks ruang, ia jadi simbol penghormatan. Seakan-akan tempat kosong itu diperuntukkan bagi Sultan, atau bahkan bagi Sang Hidup yang mengawasi perjalanan manusia. Foto yang saya ambil menegaskan kesunyian ruangan: tembok tebal pucat, cahaya masuk dari celah jeruji pintu kecil, dan kursi itu berdiri sendiri, menunggu makna. Kami berpose bersama di depan bangunan yang kadang disebut Kandang Menjangan oleh masyarakat sekitar.
Sementara itu ada juga pertanyaan dan diskusi yang menarik antara lain tentang konsep agama Syiwa yaitu Lingga Yono yang sering saya lihat di candi di Nepal dan India. Siapa sangka kalau Panggung Krapyak ini melambangkan Yoni dan Lingga nya adalah Tugu Pal Putih.
Kisah Tugu Pal Putih
Mas Wibi bercerita bahwa kalau kita mental lurus ke utara akan sampai ke Tugu Pal putih yang merupakan bagian Sumbu filosofis hingga ke Gunung Merapi. Inilah simbol lelaki yang disebut lingga sedangkan panggung Krapyak adalah yoninya. Ketika Indonesia merdeka pun, Bung Karno membangun simbol lingga yoni melalui Monumen Nasional dan Gedung MPR/DPR.
Saya menatap lurus ke utara. Meski tidak terlihat, saya tahu bahwa jauh di sana berdiri Tugu Pal Putih. Dulu namanya Tugu Golong Gilig, dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I sebagai simbol persatuan raja dan rakyat. Bentuknya bulat panjang, menjulang. Tapi gempa besar 1867 merobohkannya.
Belanda membangunnya kembali, tapi bentuknya dipendekkan dan diberi gaya kolonial. Sejak itu populer dengan sebutan Pal Putih. Simbol kosmis berubah jadi penanda kota. Namun dalam imajinasi saya, garis lurus itu tetap ada: dari Panggung Krapyak (rahim, asal kehidupan), melewati Kraton (kehidupan duniawi), hingga Tugu (tujuan akhir, kembali pada Yang Esa).
Es Teler di Warung Kecil
Sebelum kembali ke bus, saya singgah di sebuah warung kecil dekat panggung. Warung sederhana, meja plastik dan bangku kayu, di bawah atap seng. Saya memesan es teler. Segelas plastik berisi alpukat, nangka, kelapa muda, sirup merah, dan susu kental manis. Rasanya segar, sederhana, tapi memuaskan. Foto yang saya ambil memperlihatkan cahaya siang masuk miring, membuat es di gelas tampak berkilau.
Es teler itu mengingatkan saya pada nostalgia lama: dulu saya sering jalan kaki ke panggung ini, melewati Plengkung Gading yang belum ditutup. Menyusuri jalan Panjaitan, melewati gereja kawasan masjid Jogokariyan dan kemudian pesantren.