Filosofi Kehidupan
Dalam perjalan pulang di bus, mas Wibi bercerita tentang pohon-pohon yang ditanam di kedua sisi jalan. Di sebelah kiri jalan pohon tanjung, memiliki makna "disanjung", lambang masa muda yang penuh pujian. Di sebelah kanan jalan, pohon asem yang memiliki makna "kesengsem", lambang masa jatuh cinta.
Lalu masih banyak lagi cerita tentang berbagai jenis pohon yang ditanam di sekitar sumbu filosofis ini, antara lain Pohon sinom yang merupakan lambang remaja, pubertas, segar tapi labil.
Juga ada pohon Mangga kweni, melambangkan fase berani mencari jati diri, pohon Mangga pakel melambangkan fase keberanian mengambil keputusan. Dan pohon Jambu bol serta jambu dersono, lambang fase mengandung, yang ada di kamandungan sekitar Alun-alun Kidul.
Sementara di kawasan dekat Sasana Hinggil Dwi Abad di alun-alun Kidul juga ada bunga asoka (simbol perempuan) dan cempora (simbol laki-laki). Alun-alun selatan digunakan prajurit berlatih, pagar besinya berbentuk roda dengan anak panah, lambang kesiapan perang. Semua ini adalah siklus hidup: lahir, muda, jatuh cinta, berani, menikah, berkeluarga, mengandung, hingga kembali pada asal, yaitu kematian.
.
Perjalanan Pulang dan Renungan "Didadar"
Bus terus bergerak kembali ke utara . Di dalam, suasana lebih tenang. Semua orang larut dalam pikirannya masing-masing. Saya menatap keluar jendela, melewati lagi Jogokaryan, Patehan, Ketandan.
Kata-kata Mas Wibi tentang "didadar" kembali terngiang. Hidup manusia, kata orang Jawa, seperti telur didadar di atas wajan: dibolak-balik, diuji panas, hingga matang. Panggung Krapyak adalah rahim, awal mula. Kraton adalah dunia fana, tempat manusia berperan. Tugu Pal Putih adalah tujuan akhir, penyatuan. Di antaranya, manusia harus rela didadar oleh kehidupan. Sementara itu saya ingat ketika sekolah di Yogya dulu, masih kelas satu SMA, ada tetangga kos yang sudah mahasiswa dan sering menyebut istilah pendadaran. Dulu saya tidak tahu maknanya yang ternyata merupakan ujian sidang akhir skripsi.
Pukul 14.00, bus kembali masuk ke halaman JTTC. Hanya satu setengah jam perjalanan, tetapi seperti sebuah kitab kecil terbuka di depan mata. Saya turun dengan hati yang ringan, membawa pulang bukan sekadar foto, tetapi renungan panjang: tentang hidup yang didadar, tentang pentingnya dongeng, dan tentang segelas es teler yang jadi penutup manis sebuah siang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI