Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menyusuri Malioboro Bersama Bakpia, Lunpia, dan Ronde

16 September 2025   19:25 Diperbarui: 16 September 2025   20:06 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lomba Pencak Silat di Trotoar
Di tengah hiruk pikuk bakpia, saya tiba-tiba melihat kerumunan orang. Rupanya ada lomba pencak silat di trotoar. Sejumlah pesilat muda dengan seragam hitam berselendang warna-warni menampilkan jurus-jurus mereka. Gerakannya gagah, sesekali diselingi teriakan semangat. Penonton bertepuk tangan, turis asing mengangkat kamera.
Saya tersenyum. Di sinilah ironi sekaligus harmoni terjadi. Di satu sisi, silat adalah warisan Jawa---bahkan Nusantara. Di sisi lain, di belakang penonton, papan iklan bakpia dan toko obat Cina berdiri tegak. Saya merasa seperti sedang melihat dua dunia yang berjalan berdampingan tanpa perlu saling meniadakan.

Toko Obat Cina: Aroma yang Tak Lekang
Tak jauh dari situ, saya kembali menemukan toko obat Cina. Dari luar, toko ini sederhana, dengan papan nama bergaya kuno. Begitu masuk, rak-rak penuh dengan toples berisi akar kering, jamur, dan pil berwarna aneh. Seorang lelaki tua dengan kemeja putih panjang sibuk menimbang sesuatu di timbangan kuningan. Suara bahasa Mandarin terdengar samar dari radio di pojok ruangan.
Bagi saya, toko obat Cina di Malioboro bukan sekadar tempat jual beli. Ia semacam penanda sejarah kehadiran komunitas Tionghoa di kota ini. Dari obat-obatan yang dipercaya turun-temurun, kita bisa membaca cerita panjang tentang migrasi, adaptasi, dan keberlanjutan budaya.
Ada beberapa nama toko obat baik dengan nama Tionghoa maupun Indonesia ada di sepanjang jalan ini, misalnya Tek An Tong, dan Thay An Tjan.

Masjid bergaya Tionghoa
Perjalanan saya kemudian membawa ke sebuah tempat yang mungkin tak banyak orang tahu: Masjid Siti  Djirzanah.  Sekilas masjid ini dari jauh memiliki arsitektur khas Tionghoa dengan atap khas kelenteng. Warna biru dari keramik menghiasi dasarnya lengkap dengan tulisan dalam aksara arab bahasa Inggris dan juga aksara Mandarin.

Masjid ini dibangun oleh komunitas Muslim Tionghoa di Yogyakarta. Ada istilah , Qingzhensi, berarti "masjid" menunjukkan  bahwa identitas bisa cair. Tionghoa tak hanya berarti Konfusianisme atau Taoisme, tapi juga bisa menjadi Muslim, berbahasa Jawa, dan tetap mempertahankan sebagian warisan arsitekturnya.
Di titik ini, saya kembali merasa bahwa Yogyakarta memang kota yang pandai merangkul. Bukan hanya menerima, tapi juga memberi ruang pada mereka yang datang dari jauh untuk tetap menjadi dirinya, sambil menjadi bagian dari yang lebih besar.

Lumpia : dokpri 
Lumpia : dokpri 

Lumpia Malioboro
Suatu senja, saya semoga kembali menyusuri kaki lima Malioboro yang  nyaman dengan banyak kursi untuk bersantai. Karena sudah cukubkauh berjalan, langkah saya terasa semakin berat. Tapi di salah satu sudut jalan, saya melihat penjual lumpia. Ia menggoreng lumpia dengan wajan kecil, suara minyak berdesis, aromanya menggoda. Lumpia, makanan yang jelas-jelas punya akar Tionghoa (lunpia dalam Hokkian), kini menjadi jajanan kaki lima di Malioboro.
Orang membeli lumpia tanpa bertanya dari mana asalnya. Mereka hanya tahu rasanya enak, cocok disantap sambil berjalan. Inilah yang saya maksud dengan warisan: sesuatu yang lahir dari luar, tapi diterima dan dipelihara hingga akhirnya menjadi bagian dari keseharian.

Ronde: dokpri 
Ronde: dokpri 

Ronde Suryatmajan: Menutup Malam
Jika malam tiba, saya juga suka main main cari angin di sini.  Jika akhir pekan, suasana selalu ramai dan meriah. Malam semakin larut, tapi perjalanan saya belum lengkap tanpa singgah di perempatan Suryatmajan. Di sini ada wedang ronde yang legendaris. Kursi plastik berjejer di trotoar, lampu petromaks menyala, dan uap panas dari kuah jahe memenuhi udara. Penjualnya, seorang  perempuan muda yang ramah. Harganya pun sangat terjangkau, hanya 10 ribu saja tanpa susu.

Saya memesan semangkuk ronde. Bola-bola ketan putih dan merah mengapung di kuah jahe, kadang disertai kacang tanah dan kolang-kaling. Rasanya hangat, manis, sedikit pedas. Di setiap sendok, saya merasakan sejarah. Ronde sejatinya adalah adaptasi dari tang yuan , makanan Tionghoa yang biasa disajikan saat Festival Lampion atau musim dingin. Di Jogja, ia menjelma sebagai minuman malam yang akrab, murah, dan menghangatkan.
Di sini, saya menutup perjalanan dengan renungan sederhana: Malioboro memang wajah Jawa, tapi di baliknya, denyut Tionghoa bergetar. Dari bakpia, lumpia, hingga ronde, semua menunjukkan bagaimana Yogyakarta mewarisi Tionghoa tanpa kehilangan dirinya.
Refleksi: Warisan yang Jadi Milik Bersama
Saat akhirnya sampai di Stasiun Tugu, saya menoleh ke belakang. Malioboro yang terang benderang masih penuh manusia. Saya sadar, perjalanan ini bukan sekadar jalan kaki dari Nol Kilometer ke stasiun. 

Ini adalah perjalanan melihat bagaimana Jawa, melalui Yogyakarta, belajar dari Tionghoa, menyerapnya, lalu menjadikannya bagian dari identitasnya sendiri.

Warisan itu tidak lagi diperdebatkan: siapa lebih asli, siapa pendatang. Semua sudah menyatu. Jogja tidak lagi "milik" satu etnis, tapi milik semua yang pernah singgah dan memberi jejak. Seperti ronde yang kini dianggap khas Jogja, atau bakpia yang tak bisa dipisahkan dari Malioboro---semuanya adalah bukti bahwa kebudayaan hidup dari saling pinjam, saling memberi, dan saling merawat.
Dan mungkin itulah pelajaran terbesar dari Malioboro: bahwa identitas sejati sebuah kota bukanlah kemurnian, melainkan keberanian untuk mengakui bahwa kita mewarisi banyak hal dari orang lain, lalu merajutnya menjadi milik bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun