Kalau bicara biaya, jelas besar. Perbaikan halte saja bisa makan miliaran. Dan itu artinya ada anggaran lain yang terpaksa dipotong: jalan kampung yang mestinya diperbaiki, alat kesehatan yang mestinya dibeli, subsidi pendidikan yang mestinya ditambah. Semua terpaksa ditunda karena uang habis untuk menambal kerusakan akibat kerusuhan. Ini ironis: aksi yang katanya demi rakyat, malah merampok hak rakyat.
Di sini kita juga harus jujur soal moral. Kita sering cepat menuding negara lain tak beradab, kejam, atau menindas. Tapi apa pantas kita bicara begitu kalau di rumah sendiri kita masih tega merusak fasilitas umum, menutup jalur kereta, melempar batu ke penumpang? Jangan sampai kita lebih keras pada orang lain, tapi lunak pada diri sendiri. Beradab itu bukan cuma soal sopan santun, tapi soal menjaga hak orang lain. Kalau aksi kita melukai orang yang tak tahu apa-apa, itu tanda kita kehilangan adab.
Maka pesan saya sederhana: jangan rusak fasilitas umum. Jangan blokir jalur kereta. Jangan lempar batu ke arah penumpang. Jangan diam kalau melihat ada yang merusak. Semua ini bukan milik pejabat, bukan milik partai, bukan milik kelompok tertentu. Semua ini milik rakyat. Milik kita.
Kalau fasilitas umum rusak, yang rugi kita semua. Kalau jalur kereta ditutup, yang susah pekerja, pelajar, pedagang. Kalau kaca pecah dan penumpang terluka, yang menderita keluarga mereka. Jadi, kalau kita betul-betul peduli pada rakyat, mari mulai dari hal paling sederhana: jaga fasilitas umum.
Protes boleh, aspirasi sah, berbeda pendapat itu wajar. Tapi lakukan dengan cara yang tidak melukai sesama. Itu baru namanya bermartabat.
Jangan rusak --- itu uang kita, itu waktu kita, itu nyawa kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI