Ombak Berdarah di Laut Rembang
Malam merangkak pelan di pelabuhan Jepara. Lampu-lampu minyak bergoyang diterpa angin laut yang dingin. Kapal-kapal besar tertambat rapat, tetapi bisik-bisik gelisah terdengar di antara para awak. Berita tentang serangan kapal dagang Demak telah sampai ke telinga semua orang. Ombak malam seolah menyimpan rahasia yang kelam.
Mas Karebet berdiri di geladak jung utama, memandang gelap laut yang hanya disinari bulan sabit. Ia baru saja menerima titah dari Tumenggung Jepara: berangkat malam ini, kejar perompak, dan amankan jalur niaga. Sebuah perintah yang terdengar sederhana, tapi Karebet tahu: ini lebih dari sekadar menghadapi bajak laut. Ada sesuatu yang tidak wajar.
Ia menoleh ke arah prajurit yang bersiap. Mata mereka tampak cemas, tapi tekad menyala. Di antara mereka, seorang pemuda bernama Wira berbisik, "Kakang, aku mendengar kabar... perompak itu bukan orang sembarangan. Mereka punya hubungan dengan salah satu adipati."
Karebet menatapnya tajam. "Jaga kata-katamu, Wira. Laut punya telinga."
Namun, dalam hatinya, ia tidak menampik kemungkinan itu. Politik Demak memang seperti ombak: tenang di permukaan, tapi ganas di dasar.
Perjalanan ke Laut Rembang
Ketika jangkar diangkat dan layar terkembang, suara genta kapal menggema ke tengah malam. Armada kecil itu bergerak pelan, menembus kabut tipis. Karebet berdiri di haluan, menatap bintang yang menggantung di langit gelap. Di balik semua ini, ada misi yang lebih besar: menjaga nama Demak, menjaga amanat Sultan.
Beberapa jam kemudian, samar-samar mereka melihat bayangan gelap di kejauhan. Kapal jung besar dengan layar hitam, bergerak pelan seperti raksasa yang bersembunyi. Api obor menyala redup di dek, menandakan mereka masih bersantai setelah merampas harta.
"Siapkan panah api!" seru Karebet pelan, tapi tegas. Anak-anak panah dilumuri minyak, siap menyalakan malam.