Pagi ini, seperti biasa saya kembali bertandang ke Pasar Ngasem,. Jangan bosan yah karena memang rumah saya hanya berjarak 5 menit jalan kaki ke pasar ini.
Setelah melewati jalan dan gang kecil di kawasan Taman Sari saya sampai di pasar ini lewat pintu belakang dan masuk melalui Ngasem Plaza yang sekilas mirip amfiteater peninggalan zaman Romawi. Banyak pengunjung yang duduk santai sambil menikmati makanan dan bersantai.
Kemudian, mata saya memandang ke pendopo terbuka yang ada di pojok tenggara. Bangunan ini bergaya tradisional Jawa, memiliki atap limasan dengan puncak berbentuk tajug.
Struktur tiang penyangga dilapisi warna hijau dengan bagian bawah diberi batu hitam agar lebih kokoh.
Tampak Lantai keramik putih yang bersih, di sini biasanya sering digunakan untuk berbagai kegiatan seperti latihan menari atau sekedar tempat istirahat, namun kali ini tampaknya ada kegiatan pameran kuliner.
Ada sebuah meja yang di atasnya berjejer beberapa besek gudeg. Seorang pemuda berbusana tradisional Jawa tampak sedang berdiskusi dengan seorang pengunjung dengan asyik.
Saya melihat papan informasi yang menjelaskan tentang kuliner paling top yang identik dengan Yogya, yaitu gudeg. Dijelaskan jika gudeg memiliki sejarah panjang. Bahkan dalam kitab klasik Serat Centhini, gudeg telah diceritakan keberadaannya sejak abad ke-16 atau ke-17 yaitu pada saat munculnya Kerajaan Mataram. Pada masa itu, gudeg tidak hanya menjadi hidangan sehari-hari, tetapi juga diperjualbelikan saat ada pertunjukan, seperti pertunjukan wayang. Gudeg bahkan dihidangkan untuk menjamu tamu-tamu penting di masa kolonial.
Namun di pendopo ini, kita bukan hanya lebih mengenal tentang sejarah gudeg, melainkan juga mengenal tl Tradisi membuat minuman teh untuk Raja di Keraton Yogyakarta. Ini sesuai dengan info yang saya baca pada tiga back drop yang berdiri rapi.
Patehan merupakan salah satu kampung yang termasuk dalam kawasan Njeron Beteng yakni di kelurahan Patehan, Kraton, Yogyakarta. Nama kampung ini berasal dari kata fungsinya sebagai tempat para abdi dalem menyiapkan perjamuan minuman teh untuk Sultan dan para tamu. Konon disini lah awal kemunculan tradisi minum teh yang ada di lingkungan Keraton Yogyakarta. Tradisi minum teh mulai muncul pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II. Seiring berjalannya waktu, banyak terjadi perubahan tradisi minum teh pada setiap Sultan berkuasa.
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI, penyajian minum teh menggunakan peralatan seperti cangkir porselen merek Imari, dengan satu set tutup dari emas 18 karat, tempat gula, dan sendok kecil yang diletakkan pada nampan emas berbentuk bulat panjang. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, minum teh dilakukan pada pukul 07.00, 14.00, dan 20.00 dengan rokok atau aneka makanan.
Sebenarnya saya sudah lama mengenal nama kampung ini dan sering lalu lalang melewatinya, namun baru sekarang mengetahui makna kata Patehan ini.
Saya langsung mengingat kunjungan saya ke Kampung Cina di Glodok, Jakarta yang juga memiliki tradisi bernama Patekoan.
Patekoan adalah sebuah tradisi minum teh bersama yang dulu berkembang di kawasan Pecinan. Namanya berasal dari bahasa Hokkian: pa = delapan; dan teko = teko air/teh. Jadi, secara harfiah berarti "delapan teko".
Tradisi ini muncul di era kolonial Belanda. Saat itu, di sekitar Glodok ada warung-warung sederhana yang menyediakan teh gratis dalam delapan teko yang diletakkan di meja panjang. Pengunjung---baik orang Tionghoa, pribumi, maupun Belanda---boleh minum teh sambil berbincang, tanpa harus membayar. Biayanya ditanggung oleh para dermawan atau saudagar kaya sebagai wujud solidaritas sosial.
Wah siapa sangka ternyata ada benang merah antara Patehan dan Patekoan!