Terbawa euforia emak-emak dari Bandung, saya menengok etalase oleh-oleh yang menggoda. Di rak kayu, berjejer rapi aneka camilan: kerupuk tradisional, kacang, kue kering, hingga minuman botol klasik seperti soda cap Badak dan Oriental.
Mata saya tertumbuk pada Spiku Kenari rasa kopi -- kombinasi legit dan pahit yang terasa mewah di lidah. Tak lupa wingko babat, kudapan khas yang selalu jadi teman perjalanan pulang dari Semarang.
Semua saya masukkan ke tas belanja, membayangkan rasanya yang dijamin menggoda iman.
Apa yang membuat tempat ini tak pernah sepi, bahkan di tengah persaingan kuliner yang semakin brutal? Jawabannya sederhana: keaslian. Di sini, Anda tidak hanya makan, Anda meneguk sejarah.
Setiap sendok asem-asem membawa kita kembali ke masa ketika rasa adalah bahasa yang paling jujur. Tidak ada gimmick berlebihan, tidak ada plating ala fine dining. Yang ada hanya mangkuk sederhana berisi kuah bening yang menyimpan rahasia kenangan.
Ketika kami melangkah keluar, langit Semarang mulai beranjak sore. Di tangan saya, kantong berisi Spiku Kenari rasa kopi dan wingko babat terasa seperti harta karun kecil.
Di kepala saya, nama Koh Liem terpatri bukan hanya sebagai koki, tapi sebagai penjaga rasa yang setia. Jika suatu hari nanti Anda ke Semarang, singgahlah ke sini.
Duduklah di salah satu meja, pesan semangkuk asem-asem, hirup aromanya, dan rasakan bagaimana waktu berhenti sejenak. Karena ada hal-hal yang tidak bisa tergantikan oleh tren, dan Asem-Asem Koh Liem adalah salah satunya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI