Dan hari ini, saya beruntung menjadi bagian kecil dari cerita besar itu.
Tak lama, pesanan kami datang. Bandeng asem-asem hadir dalam mangkuk besar, kuahnya bening dengan semburat merah cabai, aroma asam yang menggoda sebelum sendok pertama menyentuh bibir.
Saya cicipi perlahan. Rasa asam segar berpadu gurih kaldu, menciptakan harmoni yang tak terlalu tajam, tapi cukup untuk menggugah semua indra. Daging bandengnya lembut, tidak berbau amis, tanda dimasak dengan teknik yang matang.
Potongan cabai, tomat, dan belimbing wuluh menambah kesegaran, seolah menghadirkan musim hujan di tengah siang yang panas.
Asem-asem daging tak kalah memikat. Kuahnya sama bening, namun dengan aroma sapi yang kuat. Dagingnya empuk, mudah terlepas dari serat, berpadu dengan kuah yang meresap sempurna.
Ada rasa manis samar yang menyeimbangkan asam, menciptakan sensasi yang mengajak kita untuk meneguknya perlahan, hingga tetes terakhir.
Tentu saja, tidak kalah nikmatnya adalah potongan gimbal, yaitu sejenis peyek udang yang renyah dan garing menggoyang lidah. Rasanya nyaris sempurna.
Di sela-sela suapan, saya menyesap kopi es yang dipesan. Dinginnya menyelusup tenggorokan, meninggalkan aroma robusta yang kuat, cocok menjadi penutup di udara siang Semarang yang panas membakar.
Tiba-tiba, serombongan emak-emak turun dari mobil Elf. Lumayan ramai, mungkin sekian belas orang. Suasana resto yang tadinya hening sontak berubah ramai dengan obrolan khas nuansa Sunda.
Rupanya mereka rombongan wisata dari Bandung yang hendak membeli oleh-oleh. Mereka tidak memesan makan siang, maklum jam sudah menunjukkan lebih pukul 3 sore.